P R O L O G

3.6K 198 51
                                    

Call tidak habis berlari tapi napasnya memburu, terengah, berkejaran dengan kewarasannya yang sudah diambang batas ketika punggung terbukanya menyentuh dinding, dingin.

Sebab, entah mengapa sosok mengintimidasi di depannya justru tampak begitu mempesona. Padahal seharusnya sekarang ia berlari, pergi menjauh sebelum dirinya benar-benar jatuh. Tapi kedua kakinya tidak bergerak, menikmati rasa takut sekaligus penasaran meski alarm tanda bahaya berdegung kencang.

Sial.

"Lo pikir ... setelah apa yang baru aja lo ambil, lo bisa pergi gitu aja?"

Kalimat itu diucapkan selirih angin. Pelan namun dalam. Calla sampai gemetar begitu bisa merasakan hembusan napas dari sosok di depannya itu ketika berbicara.

Aroma mint dan tembakau saling mendominasi, membuatnya pusing karena jarak mereka yang dekat. Terlalu dekat hingga hanya perlu satu dorongan kecil saja untuk tubuh keduanya bersinggungan.

"Kenapa diem?" Berdiri menjulang dengan smirik andalan yang menyebalkan, sosok itu menaikkan sebelah alis. Menatap Calla tepat di mata, menggunakan ibu jarinya untuk mengusap bibirnya dengan gerakan pelan sambil berbisik, "Bukannya bibir ini biasa ngejawab apapun yang gue katakan? Kenapa sekarang diem, hm?"

Brengsek. Brengsek. Brengsek.

Maksudnya bagaimana Calla bisa berkutik jika Laki-laki itu bahkan seolah tak mengizinkannya bernapas barang sejenak?

Calla meneguk ludah, mencengkeram gaunnya dengan gigi gemerlatuk. Sedang sosok di depannya masih diam menatapnya tanpa kedip, ia sibuk mengumpati tubuh dan hatinya yang berkhianat. Kurang ajar sekali pada situasi seperti ini dadanya justru berdebar, perutnya seperti tergelitik dan ia bisa merasakan kedua pipinya memanas hanya karena Laki-laki itu tengah memperhatikannya dengan senyum lebar. Senyum favoritnya yang menciptakan cerukan di kedua pipi dan belahan tipis di dagu.

Hanya karena Calla pernah bilang senyumnya bagus, apakah Laki-laki itu berniat menggodanya begitu?

"Mu-mun ... mundur!" Calla mendorong dada bidang di depannya dengan segenap keberanian yang tersisa tapi hasilnya nihil. Jangankan pindah, bergerak pun tidak. Harusnya dari awal ia sadar bahwa Laki-laki itu bukanlah tandingannya. Tapi Calla saja yang jemawa.

"Gue gak suka punya hutang dan gak suka dihutangin."

Calla tidak mendengarkan apa yang Laki-laki itu ucapkan sebab ia justru sibuk memikirkan cara untuk bisa segera bebas dari sana. Takut dicari Satria atau takut suara detak jantungnya terdengar karena saking kerasnya. Sebelum sosok itu makin menunduk, mendekatkan kepala dan mengecup bibirnya singkat.

Hanya mengecup tapi tidak kunjung menarik kepala menjauh sehingga bibir mereka masih menempel tanpa pergerakan lebih. Calla melotot, terkejut tapi tidak mengeluarkan suara apapun sebab jika bibirnya bergerak sedikit saja, bibir mereka akan kembali bersinggungan.

"Gue cenderung mengembalikan hal apapun dalam porsi lebih, Maha. Tadi itu untuk bayar hutangnya."

Tubuh Calla sudah gemetar, tidak karuan. Semua yang Laki-laki itu ucapkan tidak akan bisa otaknya cerna, semuanya mental. Bagaimana tidak? Ketika sosok itu berbicara, ia bisa kembali merasakan benda kenyal itu menyentuh bibirnya. Sentuhan ringan tapi sukses membuatnya nyaris kehilangan akal.

"Dan ini ... " Jeda, sosok itu sempat menggigit bibirnya sendiri sambil menatap bibir dan mata Calla bergantian sebelum melanjutkan. "Dan ini untuk bunganya, Mahaling."

Calla tidak bisa menolak, memprotes apalagi memberontak saat tangan dengan pembulu vena yang menonjol itu terlurur, menarik tengkuknya untuk lebih dekat dan menyatukan bibir mereka untuk kali kedua. Menciptakan pangutan sepihak yang tidak menuntut, pelan, penuh kelembutan.

Pada warna jingga yang menyusup melewati cela jendela hingga menciptakan pantulan cahaya yang sempat membuat Calla mengernyit, sosok itu menukar posisi, melindungi Calla dengan punggungngnya tanpa melepas pangutan. Membisikkan banyak kata yang seharusnya Calla dengar dan ingat seumur hidupnya dibanding sibuk menikmati sentuhan yang memabukkan, membuat logikanya berantakan.

"Don't worry, whatever it is for you. there's only one rule, jangan jatuh cinta sama gue kalau hidup lo mau baik-baik aja."

Seharusnya Calla mendengar kalimat itu dengan seksama. Menjadikan acuan untuk tidak mudah terlena. Tapi dibanding untuk waspada, ia justru mengalungkan kedua tangannya pada sosok itu ketika pinggangnya di tarik mendekat, semakin merapat. Calla menutup mata, mulai membalas pangutan tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi selanjutnya. Logikanya mati, tertutup oleh perasaan meletup yang selama ini selalu coba ia pungkiri tanpa pernah tau bahwa suatu saat nanti ialah yang akan jadi pihak paling tersakiti.

Sweet BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang