•
Menunduk dalam, Calla membisu mengabaikan ujung sepatu converse hitamnya saling beradu sementara di depannya Satria tengah mengomel tak kenal waktu.
"Bisa enggak sih lo itu kalau bertindak dipikirin sebab akibatnya?" Presiden mahasiswa itu kelihatan sangat frustasi dengan tingkahnya kali ini.
Calla dan masalah adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satria jadi bertanya-tanya, jika sabar ada batasnya, tolong beritahu dia di mana letak garisnya.
"Please, sekali aja kalau berbuat sesuatu itu otaknya dulu yang kerja baru mulut. Bisa?"
"Gak yakin. Masalahnya emang dia punya otak?" Bukan Calla, tentu saja. Jawaban kurang ajar itu berasal dari sosok yang tengah duduk di bawah pohon, tak jauh dari mereka.
Calla memberenggut, mengirim pelototan mata dan sumpah serapah tanpa suara. Sementara si empunya justru menyeringai jahil.
"Antha diem dulu bisa?" Satria memperingati, sebab semua orang juga tahu kalau Calla dan Anthariksa tidak pernah akur.
"Gak bisa. Just information, lima belas menit lagi kita ada rapat. Jjadi gak usah pake kata pengantar langsung aja gantung bocil satu itu di pohon beringin belakang biar sawannya hilang. Heran, tiap hari ada aja tingkahnya."
Calla itu sumbu pendek. Tidak bisa disenggol sedikit saja. "Anthariksa ... diem atau siap-siap mulut lo pindah di dengkul ya!"
"Uuuu ... takut. Mas Satria, tolong dong, takut .... " ejeknya makin menjadi-jadi.
Calla cemberut, menunjuk Antha dengan hentakkan kepala. "Tuh, BangSat, lihat itu lihat. Mulut siapa yang mulai coba? Nanti kalau gue bales, gue lagi yang salah."
Nah, kan? Satria menghela napas, menatap Antha kesal. "Tha, pergi duluan sana. Tujuh menit lagi gue nyusul. Buruan!"
Antha berdiri, menepuk bagian belakangnya sambil masih mengejek Calla lewat kerlingan mata. "Oke deh, gue duluan. Jangan telat lo, penting rapat kali ini." Yang Satria balas dengan acungan jempol.
Padahal jalanan luas, tapi Anthariksa sengaja menyenggol punggung Calla sampai perempuan itu beraduh.
"Anthariksa lo bener-bener pengen gue bunuh sampek mati ya!"
Antha cekikikan. "Ya kalau di bunuh emang mati, bocil. Lagian, ngalangin jalan aja sih, lo."
"Jalan pake mata. Jalan seluas ini, sengaja kan lo mau bikin gue kesel?"
Satria menarik kerah baju belakang Calla saat perempuan itu nyaris beringsut menghajar Anthariksa dan ia sudah siap melayangkan buku setebal dosa di tangannya jika Anthariksa tidak kunjung pergi dari sana. Satria sudah cukup pusing dengan masalah organisasi, masalah kampus, masalah yang baru saja Calla timbulkan jadi tentu dirinya tak siap jika harus melihat adu mulut dua manusia itu.
"Stop ladenin Antha. Sekarang jelasin ke gue kenapa lo terima tawaran dari Kania? Tawaran konyol yang ada gue di dalamnya? Why? Can you tell me alasan yang makes sense Callandra?"
Calla kembali menunduk, menggigit bibir, kebingungan harus menjelaskan dari mana. Bisa mati dia jika mengatakam bahwa kemarin ia menerima taruhan dari Kania secara implusif.
"Lo tahu kali ini lo kelewatan 'kan?"
Tahu. Calla tahu. Tapi bagaimana cara memberitahu Satria bahwa ini menyangkut dengan masa depan kisah cintanya? Oke, menghela napas, Calla mencengkeram rok selututnya untuk mencari kekuatan selagi otaknya berusaha menyusun alasan paling masuk akal.
"Jadi gini ... " Calla gugup. Satria depannya sedang bersedekap, mengintimidasinya lewat tatapan, tanpa kedip, seolah jika ia salah satu kata saja, nyawanya yang akan jadi taruhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Bastard
ChickLitCallandra adalah bentuk dari peranakan malaikat dan iblis. Sisi baik dan buruknya saling bekerjasama untuk menjadikannya perempuan yang licik namun mudah dicinta. Satria--Sahabat sehidup tak sematinya itu menyebut ia perempuan gila saat mendengar te...