⚠ dont too much expect
⚠ this fiction is getting serious lol
⚠ dont bring fiction into real lifeEnjoy!
_______
Bagi seorang Lee Jeno, menyakiti perasaan orang lain bukanlah hal yang mudah untuk ia sadari dalam beberapa situasi.
Dalam perkara ego, baiklah. Ia 100% mengakui bahwa terkadang ego nya bermain di barisan depan. Mengatur mulutmu agar tidak berbicara suatu hal yang buruk saat kondisi hati sedang kacau, menjadi konsekuensi tersulit untuk diatasi.
Ada kalanya bahwa lepas kendali itu layaknya mengungkapkan jati dirimu yang sebenarnya karena dorongan yang datang entah darimana. Itu sangat aneh—dan mengesalkan dalam satu waktu yang sama.
Jeno sadar tak seharusnya ia menyakiti sesosok yang sama-sama memiliki perasaan sepertinya.
Meskipun Jaemin bukanlah manusia seutuhnya, justru disitulah titik spesial yang Jeno temukan. Dimana sosok itu bahkan masih bisa merasakan sedih, kecewa dan marah terhadap seseorang tanpa hati nurani yang dilahirkan sejak datang ke dunia ini sekalipun.
Dengan langkah tergesa dan nafas tak beraturan, ia kembali ke kamar. Kemudian meraih ponsel yang tergeletak diatas meja belajar tak sabaran.
Kendati pria itu bergegas malah meremat kuat pergelangan tangannya yang tiba-tiba berkedut perih. Rasa sakit yang semakin merambat ke seluruh sel di tangan kirinya.
Sial.
Tanpa begitu memikirkannya, Jeno meraih jaket di sofa lalu berjalan keluar rumah bahkan sebelum merencanakan hal apapun untuk pergi.
***
"Nomor yang anda tuju tidak bisa dihubungi. Silahkan coba beberapa saat lagi."
"Fuck it!" Jeno melempar amarahnya ke udara.
Ini sudah ke tiga kalinya operator mengoceh karena Mark tidak bisa dihubungi. Memuakkan—sungguh. Mark benar-benar tidak tahu jika si peneror telepon satu ini sedang terserang anxiety akibat kepergian sesosok humanoid setelah pertengkaran serius yang terjadi dengannya semalam.
Ya, Jeno baru terpikir untuk menelpon Mark saat ia sampai di teras rumah untuk mengambil motor di garasi. Oke, itu wajar kan? Sebab Jeno panik, dan ia hampir kehilangan akal jernihnya juga setelah berhasil kehilangan Jaemin.
Karena situasi yang semakin buruk, Jeno memilih melanjutkan kembali langkahnya, namun tidak ke garasi. Melainkan berjalan kaki tidak begitu jauh—beberapa meter jaraknya dari rumah. Tentu saja untuk pergi ke rumah Mark, karena itu yang seharusnya ia lakukan, bukan?
Siapa yang tahu jika saja Mark berada di rumah, tapi berlagak tidak peduli dengan pesan serta telponnya karena Jaemin yang meminta agar Mark tidak memberitahunya kalau sedang berada di rumah pria bule itu? Jeno tak cukup bodoh sekedar menyadari hipotesis klise yang biasa terjadi dalam kasus semacam ini.
Mungkin rasa gugup kini sedikit mengusik dalam benaknya, karena bagaimanapun juga baik Mark ataupun Jeno sendiri pasti masih ingat betul akan kejadian tak mengenakkan yang terjadi beberapa hari lalu itu.
Jeno belum lupa bagaimana rasa bersalah itu menguar dari balik hati kecilnya.
Begitu kedua kaki kurus Jeno menginjakkan keramik putih milik kediaman Mark, ia segera menekan bel rumah tersebut dengan brutal.
KAMU SEDANG MEMBACA
J A E N O I D - nomin/jenjaem
Fanfic(On going) Jeno itu malas. Mengurus hidupnya sendiri saja dia tidak becus. Apalagi kalau harus mengurus makhluk bukan manusia seperti Na Jaemin. [start: 20.03.20 ] [end: - ] Semi baku⚠ BXB⚠ ©asaswagboy,2020 #1- humanoid 200503