Part 1

5 1 0
                                    

Hari-hari setelah kepergiannya, terasa berat buatku. Apalagi, anak-anak yang selalu menanyakan papanya.

"Ma, papa ke mana, kok tidak pulang-pulang?" tanya si sulung.

"Papa lagi kerja di luar kota, Nak." Selalu begitu jawabku.

"Mama tak lagi bohong, 'kan?" tanyanya lagi.

"Tidak, Nak," jawabku lagi.

Sesak di dada ini setiap kali anak-anak menanyakan papanya. Konsekuensi atas keputusanku yang memilih berbohong sebab tidak ingin menghancurkan ingatan baik anak-anak tentang papa mereka.

****

"Kamu tega, Mas!" ujarku ketika dia melangkah pergi.

Sudah delapan bulan, aku merasakan kehilangan perhatian dan tanggung jawab suami. Dia telah berubah, selalu sibuk dengan dunianya sendiri.

Sering aku mendapatinya tertawa-tawa sambil melihat ponsel. Aku tidak tahu, apa yang dilihat dan dikerjakannya.

"Mas, kamu lagi chat sama siapa?" tanyaku saat sedang duduk santai di teras.

"Sama teman," jawabnya singkat.

"Memangnya lagi ngobrolin apa, sampai senyum-senyum gitu?"

"Bukan urusanmu," jawabnya ketus.

Ya Allah, tidak biasanya suami berkata seperti itu. Aku hanya bisa menahan kesal. Ia bahkan tidak menoleh ke arahku sedikit pun. Netranya selalu melekat pada layar pipih yang digenggam.

"Ya sudah, kalau begitu aku tidur duluan ya, Mas."

Tanpa memedulikan jawabannya, aku berlalu masuk menuju kamar dan langsung merebahkan tubuh.

Tengah malam aku terbangun, karena merasa haus, tapi suami tidak kutemukan di dalam kamar.

Aku melangkah menuju dapur. Dalam perjalanan ke dapur, tampak suami lagi asyik dengan ponselnya dan seperti biasa sambil senyum-senyum.

Tanpa hirau, aku melangkah menuju dapur. Selesai minum, bergegas kembali ke kamar. Tidak ingin tahu, apa yang dilakukan suami.

***

Hari-hari pun berlalu, dari luar rumah tangga ini terlihat tidak ada masalah. Namun, bila mendekat terasa menyimpan bara. 

Hingga suatu saat, kulihat ponsel suami terletak di nakas samping tempat tidur. Penasaran ingin tahu, apa saja yang dilakukan, sampai lupa diri dan keluarga.

Ketika ponsel sudah di tangan, ada keraguan untuk memeriksanya. Aku termenung, lalu terkejut saat ada chat masuk di aplikasi WhatsApp. Karena hati yang sudah terlanjur penasaran, akhirnya kubuka chat itu.

Mataku terbelalak melihat isi chat-nya, hati ini berdenyut perih. Ternyata, ini yang membuat suami sampai lupa dengan keluarga. Obrolan yang berawal dari curhatan si perempuan tentang rumah tangga dan suaminya, berlanjut ke hal-hal pribadi yang tidak pantas untuk dibaca. Tidak kuat membacanya, langsung saja kukeluar dari aplikasi itu.

"Apa-apaan kamu ini, lancang buka-buka ponselku!" teriak Mas Banyu.

Aku terkejut saat Mas Banyu merampas ponselnya.

"Kenapa aku tak boleh buka-buka ponselmu, Mas. Adakah yang kau sembunyikan dariku?" tanyaku seolah-olah belum melihat isi chat di ponselnya.

"Nggak ada yang aku sembunyikan, nggak suka saja ponselku diobrak-abrik," kilahnya.

"Ya sudah kalau memang nggak ada apa-apanya, kenapa harus sewot gitu," ujarku lagi sambil keluar dari kamar.

Hati ini perih, tapi aku tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Akan kuselidiki dulu, siapa perempuan itu dan sudah sejauh mana hubungan mereka.

Menggenggam BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang