Tiba di restoran, aku langsung menuju kantor Karin di lantai dua. Sebenarnya dia ingin aku memegang tangggung jawab pada restorannya yang ada di kota lain. Namun, untuk saat sekarang kutolak. Anak-anak masih dalam masa ujian, tak bisa ditinggal. Mereka masih perlu pengawasanku. Sehingga, untuk sementara aku akan berkerja membantu Karin di restoran yang ini.
"Assalamualaikum, Rin."
"Eh, Dhe. Kamu udah datang, yuk sini duduk."
"Lagi sibuk, aku ganggu nih."
"Apaan sih, Dhe. Gak kok, cuma periksa laporan bulanan. Kamu jadi kerja di sini?"
"Jadilah, kalau nggak, ngapain aku kemari."
"Kirain mau ketemu aku aja, hahahaha."
"Ya nggaklah, lagian kalau aku nggak kerja, gimana nasib anak-anak, Rin. Sementara bapaknya nggak mau tau lagi, dia udah terlena dikekepin janda montok," selorohku.
Karin tertawa mendengar aku berbicara seperti. Ya, kenyataannya memang seperti itu, Mas Banyu sudah melupakan kami.
"Cieee, yang belum move on dari mantan," kelakar Karin.
Hanya bisa diam saat Karin menggodaku. Jujur, hati ini masih sayang pada Mas Banyu, tapi apa daya semua sudah terjadi.
"Ya udah, kamu kerjanya mulai besok aja. Sekarang, kita habiskan waktu ini buat mengenang masa-masa indah dulu, saat kita masih kuliah."
Kami geleng-geleng kepala dan hanya bisa ketawa kalau ingat kenangan masa lalu. Saat itu semuanya terasa indah dan kebahagiaan sekecil apapun bisa bikin hati senang.
Rasanya sudah lama aku tak merasa selepas ini. Aku begitu mensyukuri pertemuan kembali dengan Karin.
Semenjak menikah dan mengikuti Mas Banyu pindah ke kota ini, komunikasi dengan Karin dan teman-teman lain tidak seintens dulu.
Hari itu, aku memutuskan pergi ke mal buat belanja kebutuhan dapur yang sudah habis. Aku yang begitu asyik memilih-milih sayuran, tak sadar kalau ada seseorang yang dari tadi memperhatikan.
"Dhea, kamu benar Dhea, kan?"
"Karin, beneran ini kamu? Kamu di kota ini juga? Ya Allah, aku kangen sama kamu, Rin," ujarku sambil memeluk Karin.
"Kita cari tempat buat ngobrol, yuk," ajak Karin.
Akhirnya kaki kami melangkah ke salah satu restoran cepat saji yang ada di mal ini. Setelah puas mengobrol dan bernostalgia tentang masa lalu. Karin mengajakku untuk bekerja dengannya, tapi saat itu menolaknya. Aku berpikir, untuk apa bekerja jika semua kebutuhanku dan anak-anak telah dipenuhi oleh Mas Banyu?.
Namun, tak dinyana rumah tanggaku porak poranda hanya karena pesona seorang janda. Sejak Mas Banyu meninggalkan rumah, tak sekali pun dia melihat keadaan kami. Bahkan nafkah untuk anak-anak pun sudah tak dipenuhi.
Ditengah lamunanku, muncul sosok pria yang begitu dikenal. Dengan perawakan tegap dan memiliki senyum yang manis hingga membuatku terpesona.
"Kak Elang ... ini beneran kakak?"
"Emangnya kamu pikir siapa?" jawabnya seraya tersenyum.
Aku hanya tertawa nyengir mendengar perkataan Kak Elang.
"Eh tapi Kak Elang ngapain di sini?"
Lagi-lagi Kak Elang tersenyum, sambil mendekat ke arahku.
"Emangnya temanmu ini nggak kasih tau?"
"Kasih tau apa?"
"Kami tuh udah nikah, jadi temanmu ini, istrinya Kakak."
"Ah yang benar, kok Karin nggak pernah ngomong sama aku? Selamat ya, akhirnya nikah juga sama orang yang kamu cintai," ujarku sambil memeluk Karin.
Aku senang melihat sahabatku ini meraih kebahagiaannya. Semoga rumah tangga mereka akan langgeng sampai maut memisahkan, tidak seperti rumah tanggaku. Ah, lagi-lagi hati ini perih kalau mengingatnya.
***
Hari itu, sepulang kerja. Aku melihat si sulung murung saja, tidak ada semangat. Aku tahu apa penyebabnya, apalagi kalau bukan kerinduannya kepada sang ayah.
Apalagi hari itu, dia melihat foto yang di-posting oleh Mas Banyu. Di postingan itu, terlihat mereka sedang menghabiskan waktu dengan jalan-jalan ke luar kota. Namun, yang tidak kuterima adalah Mas Banyu begitu memanjakan anak dari janda itu, sementara anak kandungnya sendiri dilupakan.
Sejak kepergian Mas Banyu, entah sudah berapa kali mencoba menghubunginya, tapi tidak pernah mendapatkan tanggapan. Dia seolah lupa dengan keluarganya, karena bagaimanapun status kami masih suami istri.
Weekend ini aku berencana mengajak anak-anak, menghabiskan waktu dengan jalan-jalan ke mal. Sudah lama rasanya tidak mengajak mereka. Semoga ini bisa membuat mereka melupakan sejenak, tentang kerinduan pada sang ayah.
Sebisa mungkin aku akan membuat anak-anak nyaman dengan situasi saat ini. Akan kulakukan apapun asal bisa lihat senyum mereka lagi.
Anak-anak terlihat tidak sabar, saat langkah kami menuju salah satu arena permainan di lantai dua mal ini. Kami begitu larut dalam permainan yang kami jajal. Namun, semua itu buyar ketika si Adek berteriak.
"Ma, itukan papa?"
Aku mengikuti arah yang ditunjukkan oleh si Adek. Aku melihat Mas Banyu sedang duduk santai di sebuah tempat makan, bersama dengan keluarga barunya.
Tanpa ragu Adek berlari ke arah papanya, aku dan Kakak pun mengikuti dari belakang.
"Papaaa," teriak adek ketika sudah hampir mendekati papanya.
Mas Banyu tampak terkejut melihat kedatangan kami. Namun, dapat kulihat raut wajah yang tidak senang melihat kami.
"Apa kabar, Mas? Sepertinya hidupmu bahagia sekarang ya? Sehingga lupa kalau masih ada anak-anak yang butuh perhatian dan kasih sayangmu," ujarku tanpa basa-basi.
Mas Banyu tampak menahan marah mendengar kata-kataku. Si Adek yang melihatnya, urung mendekat dan memeluk papanya.
"Tak mengapa kalau kamu tak menganggapku, Mas, tapi ingat mereka adalah anak-anakmu. Semenjak kamu bersama pelacur ini, kamu melupakan semua tanggung jawabmu."
"Jaga omonganmu, Dhea," ucap Mas Banyu sambil menatap marah.
"Kenapa? Kamu gak terima kalau selingkuhanmu ini disebut pelacur, bahkan bagiku dia lebih rendah dari seorang pelacur," ujarku sambil menatap tajam pada perempuan perusak itu.
"Perempuan baik-baik tak akan pernah mau merusak rumah tangga orang, tapi ini apa? Selain merusak, dia juga menjauhkanmu dari anak-anak."
Perempuan itu hanya terdiam dan tertunduk mendengar kata-kataku. Sedangkan Mas Banyu sudah menahan marah dan malu karena semua mata tertuju padanya.
"Aku akan segera mengurus perceraian kita, selama ini aku menunggu itikad baikmu untuk menyelesaikan semua ini, tapi ternyata kamu malah sibuk dengan keluarga baru."
"Dan akan kupastikan, anak-anak mendapatkan haknya. Aku gak ikhlas jika hak anak-anakku dirampas oleh orang yang tidak berhak."
"Kamu jangan pernah menghalangi apa yang akan kulakukan. Karena kalau sampai itu Mas lakukan, aku akan melaporkan perbuatan kalian ke kantor. Satu lagi, sampah sudah seharusnya dibuang ke tempat sampah. Dan aku tak akan pernah memungut sampah yang sudah dibuang."
Mas Banyu terkejut mendengar perkataanku, tak menyangka jika bisa berkata demikian. Karena, dia tahu aku tidak pernah main-main dengan perkataanku.
Setelah mengucapkan itu, aku mengajak anak-anak untuk pulang. Percuma juga di sini, papanya saja tak acuh sama mereka.
Kadang aku tidak habis pikir, kenapa Mas Banyu tega berbuat seperti itu kepada anak kandungnya?.
"Sekarang, silahkan saja kamu menikmati kebahagiaanmmu, Mas. Namun, besok kamu akan tahu bahwa darah lebih kental daripada air."
Akupun berlalu dari hadapannya bersama anak-anak. Akan kuperlihatkan dan buktikan padamu, Mas. Kalau kami akan lebih bahagia walau tanpamu bersama kami.
TBC
----------------------------------------------
Padang, 07 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Bara
Romancesebuah kisah tentang rumah tangga Banyu dan Dhea, terjadinya perselingkuhan karena tidak adanya rasa "nyaman" lagi.