Hari ini, aku membulatkan tekad untuk mengurus perceraian dengan Mas Banyu. Semua persyaratan yang diperlukan sudah kusiapkan.
Aku bergegas menuju kantornya Mas Banyu, ingin secepatnya masalah ini selesai dan anak-anak mendapatkan haknya.
Ah, sakit hati ini ketika menginjakkan kaki di kantor Mas Banyu. Kantor yang menjadi bukti perjuangan kami di awal pernikahan dulu. Bekerja hanya sebagai staf biasa, sampai akhirnya bisa mencapai posisi sekarang.
Namun, kantor ini bukan bagian dariku lagi. Karena nggak ingin ketemu sama Mas Banyu, berkas gugatan cerai kutitipkan saja sama resepsionis kantor.
Setelah semua urusan selesai, segera aku menuju restoran karena ada rapat dengan beberapa supplier. Walaupun hati dan badan ini merasa lelah, tapi semua harus dijalani.
Ah, akhirnya rapat ini selesai juga. Kurebahkan kepala di atas meja kerja, melepaskan penat seharian ini. Teringat lagi ke masa-masa lalu. Kalau aku lagi capek seperti ini, Mas Banyu pasti akan langsung memijitku.
Tanpa sadar, air mata ini menetes kala mengingat itu semua. Tidak menyangka, kalau pernikahanku akan berakhir seperti ini
***
Mas Banyu dulunya adalah sosok laki-laki yang begitu baik, perhatian dan romantis. Pertemuan pertama kami terjadi ketika masa orientasi mahasiswa baru di kampus. Senior yang begitu diidolakan, baik teman sesama angkatan maupun mahasiswi baru sepertiku.
Setelah masa orientasi selesai, hubungan kami semakin dekat. Bisa dibilang kami adalah pasangan yang bikin orang iri, bukan hanya karena wajah tapi juga kepintaran kami.
Tidak terasa sudah memasuki dua tahun hubungan yang kami jalani.
Hari itu, Mas Banyu mengajakku pergi makan malam di suatu kafe.
"Tumben kamu ajak aku makan malam, Mas?"
"Ada yang mau Mas bicarakan sama kamu."
"Mau bicara apa, Mas?"
"Sebaiknya kita makan dulu, setelah itu baru bicara."
Aku mengangguk sambil melihat-lihat menu yang akan dipesan. Sambil menunggu pesanan datang, aku masih penasaran Mas Banyu mau bicara apa.
"Sudah makan aja dulu," ujar Mas Banyu seperti tahu kegelisahanku.
Mas Banyu menepati janjinya, dia langsung membicarakan maksudnya mengajakku makan malam.
"Mas mau melamarmu, Dhe," ucap Mas Banyu tanpa basa-basi.
Aku yang mendengarnya langsung terkejut, tidak pernah menyangka Mas Banyu akan melamar secepat ini. Kami masih sama-sama kuliah, walaupun tahun ini dia akan diwisuda.
"Kamu serius, Mas? Tapi kita kan masih kuliah?"
"Mas tahu, tapi tahun ini akan diwisuda dan Mas sudah memasukkan lamaran pekerjaan. Mudah-mudahan diterima."
Aku benar-benar nggak tahu harus jawab apa. Di satu sisi, tidak ingin jauh darinya dan ingin mendampinginya dikala susah dan senang. Namun, di sisi lain, apakah orang tuaku akan menyetujui pernikahan ini? Secara masih kuliah dan umurku yang masih muda.
"Mas tahu, kamu ragu kalau orang tua kita akan mengijinkan untuk menikah muda, tapi kita harus berusaha menyakinkan mereka. Kamu mau, kan?"
Akupun mengangguk, dan Mas Banyu tersenyum dan menarikku kepelukannya.
"Mas ingin menghabiskan sisa hidup bersamamu dan anak anak kita kelak."
Aku begitu melambung mendengarkan ucapan Mas Banyu, terdengar gombal memang, tapi aku bahagia.
***
Akhirnya hari bahagia itu datang juga, setelah usaha kami menyakinkan orang tua berhasil. Mereka hanya bisa memberikan restu. Bagaimana nantinya menjalani pernikahan, itu adalah tanggung jawab kami karena keputusan menikah muda.
Air mata bahagia menetes, ketika mendengar Mas Banyu dengan lantangnya mengucapkan kalimat ijab kabul itu.
"Bagaimana para saksi, sah?" tanya pak penghulu.
"Saaah," jawab saksi serempak.
Tak terkira rasa bahagia ini. Mas Banyu dengan mantapnya, mengambil alih tanggung jawab seorang ayah terhadap anak gadisnya.
Sekarang aku sudah sah jadi istrinya Mas Banyu, dan akan memulai babak yang baru dalam hidupku.
***
Dalam perjalanannya, banyak onak dan kerikil-kerikil tajam yang sudah kita lalui. Kamu yang selalu sabar dalam menghadapi tingkah lakuku, yang kadang masih kekanak-kanakan.
Selalu mengingatkan dan membimbingku ke arah yang lebih baik. Kehadiran dua orang buah hati, membuat rumah tangga kita semakin lengkap. Kamu menjadi suami dan ayah yang bertanggungjawab.
Ternyata, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Sepuluh tahun pernikahan kita, kamu menghadiahkan pengkhianatan yang sangat menyakiti hatiku.
Entah apa salah dan kurangku padamu, Mas. Dari awal pernikahan, aku sudah mengabdikan diriku sepenuhnya untuk keluarga.
Ah, entahlah ... mungkin memang dirimu yang lemah iman ketika godaan itu datang.
***
Lamunanku seketika buyar, ketika bahu ditepuk dari samping. Kulihat Karin cengengesan karena melihat keterkejutanku.
"Dasar, gangguin orang aja," sungutku.
"Melamunkan apa? Yang sudah berlalu, nggak usah dipikirkan."
"Aku sudah mengajukan gugatan cerai ke Mas Banyu. Padahal aku berharap rumah tangga ini bisa diperbaiki, walaupun hanya demi kebaikan anak-anak."
"Dan memaafkan perselingkuhannya?"
"Ya, akan berusaha melupakan pengkhianatan yang dia lakukan. Aku nggak tega melihat penderitaan anak-anak yang harus terpisah dari papanya."
"Kamu masih mencintainya, Dhe?"
"Bohong kalau aku bilang sudah nggak mencintainya, tapi hati ini pun sakit setiap mengingat pengkhianatannya."
Air mata mengalir, ketika mengingat wajah anak-anak yang tidak dipedulikan papanya kemarin. Hati ini nyeri, perih, rasanya campur aduk.
"Sudah, lupakan semuanya Dhe. Raih kebahagiaanmu dengan anak-anak."
"Harusnya kamu lihat kejadian kemarin, Rin. Saat kami bertemu Mas Banyu di mal, dia kelihatan bahagia tanpa mempedulikan kepedihan anak-anaknya. Sakit, Rin. Sakit!" ucapku sambil memukul dada.
"Sudah, Dhe. Sekarang yang harus kamu lakukan adalah buktikan sama mereka, kalau kamu bisa hidup lebih baik walaupun tanpa Banyu."
"Setelah perceraian, kamu harus menata hidupmu agar lebih baik. Aku akan membantumu untuk bangkit. Nggak usah tangisi lagi laki-laki bodoh itu."
"Terima kasih, Rin. Aku nggak tahu apa yang terjadi kalau nggak ketemu kamu. Mungkin bisa gila tanpa ada yang menemani melewati hari-hari penuh derita ini."
Aku langsung memeluk Karin, hanya dia yang mengerti akan diri ini.
"Udah ah meweknya. Lihat tuh hidung sama mata, pada merah semua."
Aku tertawa mendengar ucapan Karin. Apa yang diucapkannya ada benarnya. Hidup harus selalu menatap ke depan, jangan pernah lagi menoleh ke belakang.
Biarlah Mas Banyu bahagia dengan hidup yang dijalaninya sekarang. Aku akan memberikan kebahagiaan buat anak-anak dan aku yakin, karma itu pasti ada.
Tbc
****
Padang, 12 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Bara
Romancesebuah kisah tentang rumah tangga Banyu dan Dhea, terjadinya perselingkuhan karena tidak adanya rasa "nyaman" lagi.