Prolog

41 4 7
                                    

Langit yang awalnya biru kini berubah menjadi jingga keunguan. Menandakan jika senja telah datang.

Sore itu. Aku tengah memandangi matahari yang mulai terbenam. Duduk di rumah pohon pinggiran danau favoritku.

Aku bergeser sedikit ke kanan, mencari tempat ternyaman untukku duduk. Biasanya aku akan datang ke sini jika aku ingin sedikit bernostalgia dengan kenangan manis bersama papa, bukan menangis seperti hari ini.

Dahulu, aku menganggap jika diriku ini adalah gadis yang paling bahagia di dunia. Aku bersyukur lahir di tengah-tengah keluarga hangat, dan hampir tidak pernah bertengkar.

Namun, semenjak papa meninggal, hidupku berubah 180 derajat
Aku hampir tidak pernah merasakan kehangatan itu lagi. Terlebih mama telah menemukan pengganti papa.

Aku menyukai senja tetapi tidak dengan kesendirian. Senja mengajarkanku bahwa apapun yang terjadi di hari ini akan selalu berakhir indah. Berbeda dengan kesendirian, aku selalu beranggapan jika kesendirianlah yang akan menimbulkan kesedihan.

Biasanya jika perasaan sedih datang, aku akan pergi ke taman kota, melihat orang-orang berlalu lalang agar aku bisa melupakan kesedihanku dan mendapatkan keceriaanku kembali. Tidak seperti hari ini, aku malah menumpahkannya sendirian di sini.

"Nangis aja nggak papa, nangis itu manusiawi, kamu nggak perlu pura-pura kuat demi terlihat bahagia di mata orang lain," Mendengar suara itu, buru-buru aku mengusap air mataku dengan kedua tanganku secara tidak sabaran dan segera menoleh ke belakang.

Senyumku terbit, ketika melihat dirinya. Laki-laki itu adalah sahabat dekatku sekaligus orang berhasil membuatku fall in love.

Ia melangkah dan duduk disampingku. "Kenapa jam segini belum pulang?" tanyanya kepadaku.

"Masih pengen disini" jawabku pelan. Aku tidak mau laki-laki itu tahu tentang alasanku pergi kesini, aku tidak mau membuatnya cemas.

"Tumben, sendirian disini. Nangis lagi," ujarnya dengan nada yang sedikit mengejek. Mendengar itu aku hanya menatapnya dengan tersenyum kecut.

Aku memang selalu mengatakan kepada laki-laki ini, menangis itu hanya untuk orang-orang lemah. Dan aku merasa menjadi seorang pengecut sekarang ini.

"Maaf, ternyata aku tidak sekuat yang aku bayangkan, nyatanya pura-pura bahagia tuh sakit," ucapku lirih.

Lelaki itu menghela nafasnya pelan. "Butuh sandaran? bahu saya nganggur, Nih!"

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Lalu, segera kuletakkan kepalaku ini di bahunya.

Laki-laki ini memang selalu ada untukku. Bahkan disaat semua orang perlahan menghilang.

"Kamu ngapain juga ada disini?" tanyaku balik kepadanya.
"Pengen aja. Lagian kamu kan selalu ada buat saya, jadi kini giliran saya yang ada buat kamu." Aku tersenyum mendengar jawabannya barusan.

"Balas budi nih, ceritanya" ucapku.

"Iya." Laki-laki itu masih saja dingin dan datar seperti biasanya.

"Jadi nggak ada alasan lain?" tanyaku lagi.

"Ya emang balas budi, memangnya kamu mau saya jawab apa?" Aku menggembungkan pipi dan cemberut kearahnya, sengaja. Mungkin jika begini laki-laki ini segera mendapat hidayah dari Tuhan dan diberikan kadar kepekaan yang tinggi.

"Oh ternyata nggak ada alasan lain. Duh gini ya ternyata rasanya berharap trus ditampar kenyataan" ucapku  sedikit memberikan kode kepadanya.

Laki-laki itu tersenyum kearahku kemudian mengacak rambutku pelan. "Mangkanya jangan suka berharap, apalagi berharap sama manusia" ucapnya yang membuatku lagi-lagi menggembungkan pipi.

Ya Tuhan laki-laki ini benar-benar tidak peka atau pura-pura tidak peka.

•••




To be Continue.

Welcome Yeorobun...
Di cerita yang mudah-mudahan bisa konsisten.

Terimakasih vote dan komennya.

Salam sayang,
@na.sabilla0113

ASKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang