Bandung, 🌁

0 0 0
                                    

"Jika Tangkuban Perahu wujud kemarahan, apakah kemarahanku berwujud dengan sikap menjauhimu? "

"Bisa dibilang gue juga biang kerok waktu smp dulu Kuh, gue itu temenannya cowok semua. Jadi supporter temen temen gue waktu main futsal, baik siang malam. Sampai ya gue kenal cowok." Dina menghembuskan napasnya pelan. Dia mengecek jam di pergelangan tangannya.

"Hingga akhirnya suatu hari orang tua gue ngelarang gue keluar. Padahal waktu itu jadwal tanding dia. Gue akhirnya ngelanggar dong, cabut ke sana. Daaannn. Gue kecelakaan berat. Luka di sekujur tubuh. Motor temen gue rusak parah. Dan gue inget banget, gue tuh kayak terbang dari motor... Hehe"

"Alhamdulillah nya sih, ga ada patah tulang atau lain sebagainya. Cuma ada beberapa yang membekas. "

"Terus, apa yang terjadi sampai lo berubah,?" tanya Kukuh dengan wajah penasaran khasnya. Alisnya naik sebelah.

"Gue malu, lihat deh pipi gue ada bekas lebam gitu kan. Yaa walupun udah agak samar sih. Ada juga di kaki gue. Sampai gue malu kalau mau pakai celana pendek."

"Sampai ada kata guru gue 'makanya Din, jadi anak itu yang berbakti sama orang tua. Jadi ilang kan cantiknya. Tuh diambil nikmatnya' denger itu gue langsung mak dek gitu lo Kuh. Gue sadar gue selama ini salah." Dina tertawa cukup kencang hingga kedua matanya menyipit melihat Kukuh yang memperhatikan dengan serius ceritanya.

"Lo kenapa ketawa sih Din, "

"Pertama, lucu aja seorang Kukuh kek anak kecil waktu di ceritain. Kedua sejak kapan kita jadi akrab begini. Sampai cerita cerita segala. Bahkan tanpa ada bendera perang. "

Kukuh memutar bola matanya malas. Dia setuju juga dengan poin kedua tadi.

"Dan yang ketiga yuk pulang nanti sore prepare ke Bandung kan? " ajak Dina dengan mengalungkan sling bagnya ke bahu. Hal itu tak luput dari penglihatan Kukuh.

Di luar nampak ketiga sahabatnya Dina sedang menungguinya. Dina terkejut lantas tersenyum senang menghampiri sahabatnya.

"Maaf, nunggu lama ya gaes? "

" Luamaaaa banget ya gaes, ngobrolin apa sih? " goda Sindi membuat Dina mendengus tertawa kecil.

"Nah bener banget, tak liat semenjak insiden yang melibatkan lo berdua, kalian ga pernah mengedarkan bendera perang. " Gantian Amel yang menimpali.

"Apalagi kalo pelajaran matematika, berebutan mau maju, berdebat masalah rumus. Hadeh pokok ga akur sama sekali. " nampak Sindi teman sebangkunya menimpali.

"Belum lagi, kalo mapel bu Sari. Beuh jawab aja bisa samaan." Amelia dan Sindi terus menggoda.

Dina mendengus dan beberapa kali menepuk lengan sahabatnya karena Kukuh masih bisa dengar percakapan itu. Untuk mengakhiri ejekan sahabatnya, dia segera menggandeng Diana. "Yuk cabut aja. Gabut mereka mah. "

Tiba tiba tanpa disangka Diana berucap yang mampu membuat Dina sadar, "Kuh, tadi lo dicari Hani. Tadi berangkat barengan kan? "

Sindi menepuk bahu Diana pelan, "lo paan sih. Biarin aja dia mah toh si Hani udah dibonceng cowok lain. "

Segera setelah mendengar perkataan Sindi, Kukuh pergi dengan sedikit berlari tanpa sedikitpun berkata. Untuk masalah ini Dina begitu lupa hingga akhirnya dia melepaskan pegangan pada Diana. Diana yang tersadar segera berdecak kesal, "Lo ga ada rasa kan sama dia? Jangan macem macem sama Hani. Dia biang kerok waktu smp. "

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Manajemen HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang