Rina sudah memantapkan hatinya untuk merantau ke kota, segala semua yang diperlukan telah ia siapkan. Wanita itu berharap semoga ada secercah harapan, ketika ia tinggal di lingkungan yang baru. Rina akan tinggal dengan saudara sepupunya yaitu Ani anak dari adiknya Surtini. Ia juga akan melamar pekerjaan di pabrik konveksi tempat Ani bekerja.
Sebelum berangkat, Rina ke rumah Ustazah Zahra untuk berpamitan. Ia juga mengucapkan rasa terima kasih kepada Ustazah Zahra, karena sudah berjasa dan membantu Rina selama ini.
“Ustazah, terima kasih selama ini sudah mau membimbingku dan mendengarkan semua keluh kesahku selama ini.”
“Sama-sama Rina, kamu baik-baik ya di sana. Pesan saya di mana pun berada tetap menjalankan ibadah yang diperintahkan-Nya dan berikhtiar, agar dijauhkan dari segala mara bahaya dan tidak jatuh ke pergaulan yang salah.”
“Iya, Ustazah. Aku akan mengingat pesan itu, ya sudah aku pamit, ya.”
Setelahnya, Rina menuju ke perkebunan milik mendiang sang ayah untuk menghampiri Surtini yang sedang bekerja. Terlihat dari kejauhan Surtini seperti kelelahan mengelola perkebunan ini, pegawai ayahnya yang bertahan hanya tinggal seorang yaitu Anto, sisanya mengundurkan diri takut dijadikan tumbal. Mereka berpikir mendiang ayah tewas, karena telat memberi tumbal. Padahal keluarganya tidak memakai pesugihan.
Walau ada Anto yang membantu sang emak, rasanya hati Rina begitu sedih, karena harus meninggalkan emak di sini. Namun, keputusan ini sudah bulat, wanita itu ingin bangkit dari keterpurukan yang membelenggu dirinya selama ini.
“Emak ...,” panggil Rina kepada Surtini.
“Iya, Nak. Kamu sudah ke rumah Ustazah Zahra?” tanya Surtini.
“Sudah, Mak. Sini aku bantuin bawain sayurnya, Emak pasti capek dari pagi sudah bekerja sampai siang hari.” Rina pun langsung membawa sayur-sayuran yang sudah dipetik oleh Surtini. Ia ingin membantu sang emak sebelum pergi kota.
Mereka pun berjalan ke tempat penyortiran sayur-mayur, mengisi waktu luang berdua di hari terakhir Rina di desa. Wanita itu juga memperlihatkan senyumnya, agar sang emak tidak merasakan kekhawatiran kepadanya.
***
Hari sudah berganti, Rina pun sudah siap untuk pergi ke kota. Rina menatap Surtini, ia merasa berat harus meninggalkan sang emak yang sudah merawatnya sedari kecil sampai sekarang. Bulir demi bulir air mata tak terasa terjatuh, wanita itu tampak lirih. Ia tak ada pilihan lain, selain membuka lembaran baru di kota.
Rina pun memeluk Surtini, menangis dengan kepiluan. Mereka terbawa dalam suasana yang begitu pedih. Ibu dan anak itu berpelukan cukup lama, karena Rina belum pernah tinggal jauh dari sang emak. Surtini pun begitu, sangat berat melepaskan sang putri pergi jauh meninggalkannya.
“Hati-hati di jalan, ya, Nak.”
“Iya, Mak. Emak jaga diri baik-baik ya di sini. Jika ada apa-apa, Emak langsung hubungi aku, ya.”
“Emak di sini akan baik-baik saja. Kamu juga harus jaga baik-baik diri di sana, hidup di kota tak seperti di desa. Banyak rintangan dan cobaan yang akan kamu hadapi, di sana keras, jadi berhati-hatilah dalam memilih pergaulan.”
“Aku akan berusaha menjaga diri dan selalu mengingat pesan-pesan dari Emak. Ya sudah aku pamit berangkat, ya, Mak. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Rina berjalan menuju mobil travel yang menjemputnya, air matanya mengembang, menahan tangis agar Surtini tak khawatir kepadanya. Ia menoleh sesekali ke arah Surtini, memberi senyuman berharap sang emak akan baik-baik saja saat Rina tak ada di sini.
***
Empat jam perjalanan dari desa ke kota, Rina tiba di indekos Ani. Ia sementara tinggal bersama dengan saudara sepupunya itu. Rina ingin memulai hidup yang baru di sini.
“Rin, lu bawa cv dan lamarannya kan?” tanya Ani kepada Rina.
“Iya, gue bawa kok, Ni. Beserta foto terbaru juga ‘kan? Tenang aja udah gue siapin,” jawab Rina penuh semangat.
“Yaudah, besok pagi-pagi banget lu ikut gue ke pabrik,” ucap Ani sambil merebahkan dirinya yang sehabis pulang kerja.
Rina pun membereskan barang-barangnya terlebih dahulu, lalu ia membersihkan diri dan beristirahat, agar esok Rina bisa lebih fokus menjalankan tes interviu. Wanita itu berharap bisa mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik lagi di sini.
Rina menuju kamar mandi yang letaknya berada di ujung indekos ini. Terlihat begitu sepi, mungkin beberapa sudah tertidur, karena hari sudah menjelang malam. Saat hendak ia memasuki kamar mandi, ada kibasan kain berwarna putih melewatinya. Seketika buluk kuduk Rina merinding, lalu wanita itu mempercepat membersihkan diri ke seluruh badannya. Ia merasa ada yang seperti mengikutinya.
Rina bergegas keluar dari kamar mandi. Tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika melihat sesosok wanita berkain putih tepat ada di hadapannya. Wanita berkain putih itu mendelik senyum ke arah Rina, lalu bergolek perlahan dan mendekap dirinya.
“Mau di mana pun kamu berada, aku akan tetap mengikutimu,” ucap wanita berkain putih berbisik ke arah telinga Rina.
Rina pun tercengang dengan ucapannya, ia membisu seketika saat teror yang setiap hari mendatanginya di tengah malam kini tepat berada di depannya. Rina tak mengerti apa maksud dari sesosok menyeramkan itu, mengapa rasanya ia tak bisa hidup tenang.
“Apa salahku? Hingga kau terus mendatangiku,” tanya Rina kepada wanita berkain putih itu.
“Salahmu tak ada, hanya saja aku diperintahkan untuk membuat hidupmu menderita!” Wanita berkain putih itu pun melayang sambil tertawa hingga melengking. Rina langsung berlari ke kamar saudara sepupunya.
Brak!
Rina menutup pintu dengan kencang, napasnya tersengal-sengal akibat menghindari dari sesosok wanita berkain putih itu. Ani yang sedang asyik dengan ponselnya, terkejut saat Rina datang seperti orang ketakutan.
“Lu kenapa, Rin?”
“Gue tadi ....”
“Tadi apa? Sini duduk dulu, Rin. Tenangi diri dulu. Baru ceritai pelan-pelan ke gue, apa yang baru aja terjadi sama lu.”
“Gue tadi ketemu sama sesosok wanita berkain putih, dia sama persis dengan yang menghantui saat waktu masih di desa, Ni.”
“Emang dia siapa, Rin?”
“Gue juga enggak tau, pokoknya setelah ayah meninggal, tiba-tiba aja ini semua terjadi sama gue. Waktu gue nanya ke emak, dia gak mau jawab.”
“Kok gue dengernya jadi ngeri ya, Rin. Kata ibu gue juga sih, keluarga ayah lu penuh misteri, ibu cerita kalau nenek sempet enggak merestui pernikahan emak dan ayah lu gitu.”
“Serius? Gue baru denger, emak selama ini enggak pernah cerita apa-apa ke gue.”
“Serius, Rin. Ibu cerita gitu ke gue, mungkin apa yang lu alami ada kaitan dengan semua misteri itu.”
“Hm ... gue enggak tau juga. Semoga ini enggak berlangsung lama dan cuma sebentar, rasanya gue capek diteror terus.”
“Yaudah kamu istirahat aja, Rin. Aku juga mau tidur.”
“Iya, Ni.”
***
Pagi harinya, Rina dan Ani pergi menuju ke pabrik konveksi. Rina mencoba melamar pekerjaan di tempat Ani. Ia berharap bila bekerja di sini bisa membantu sang emak, agar tidak terlalu bekerja berat di kebun. Ani pun mengantar Rina ke ruang hrd.
“Semoga ini adalah awal aku membuka lembaran baru dalam kehidupanku,” gumam Rina. Ia berdoa senantiasa agar semua dilancarkan dan bisa merasakan kembali kebahagiaan dalam hidupnya.
Proses interviu berjalan lancar, Rina diterima di pabrik konveksi tempat Ani bekerja. Harapan dan doanya terkabul, sekarang ia bertekad untuk bekerja keras dan bisa membahagiakan sang emak juga untuk dirinya sendiri.
Rina pun langsung bekerja di hari itu, ia diajari oleh Andri, kepala staff produksi di pabrik konveksi itu. Tahap demi tahap Rina berusaha memahaminya, tanpa sadar tatapannya tertuju kepada Andri yang sedang menjelaskan tata cara kerja di pabrik. Ia terkesima dengan wajah lelaki tampan juga berhidung mancung itu. Andri yang melihat wanita itu pun, langsung menegurnya.
“Kamu kenapa melamun?” tanya Andri kepada Rina.
“Eh, a-a-ku enggak melamun kok,” jawab Rina dengan terbata-bata. Rina merasa malu, ia tertangkap basah saat ia sedang menatap Andri dengan saksama.
“Kamu naksir ya sama saya?” goda Andri hingga membuat pipi Rina memerah.
“Si-si-a-pa yang naksir, enggak kok, Pak. Tadi aku terlalu serius aja mendengarkan Pak Andri menjelaskan prosedur pekerjaan.” Rina masih saja terbata-bata menjawab omongan Andri. Wanita itu merasa gugup karena tak sadar telah mencuri pandang kepada atasannya itu.
“Ya sudah, kamu sudah paham ‘kan dengan yang saya jelaskan? Kalau sudah, kamu boleh silakan langsung bekerja,” ujar Andri lalu pergi meninggalkan Rina.
Terbesit rasa pada hati Rina, wanita itu seperti merasakan cinta kembali pada hatinya. Hati yang selama ini begitu hambar, atas rasa sakit kepada mantan suaminya. Namun, itu hanyalah angan untuk Rina, tak mungkin ia bisa bersanding dengan Pak Andri, yang adalah atasannya sendiri.
“Pokoknya aku gak boleh sampai jatuh cinta sama Pak Andri.” Rina pun berusaha menepis rasanya dan berfokus tujuan utama ia bekerja di pabrik konveksi ini.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Sepata
General FictionRina adalah seorang wanita yang memimpikan untuk menjalani rumah tangga bahagia dan indah. Namun, setiap membangun rumah tangga, ia tak pernah diberi keturunan. Sebab itulah, ia ditinggal oleh para mantan suaminya. Lalu, bagaimana kisah Rina selanju...