Part 2

11 5 0
                                    

Rina berusaha tegar dalam menghadapi ini semua, mungkin ini adalah ujian dari Sang Maha Pencipta, untuk membuatnya lebih kuat lagi dalam menjalani hidup. Ia juga mencoba memperbaiki diri dengan berhijrah, memperdalam ilmu agama juga memakai hijab. Rina belajar dan berguru dengan Ustazah Zahra. Hanya dengan Ustazah Zahra, dia menceritakan keluh kesahnya. Selain menceritakan mimpinya yang terus berulang, wanita itu juga mencurahkan isi hatinya.

“Ustazah, bagaimana cara mengobati luka di hati? Aku lama-lama semakin terpuruk dengan keadaan.”

“Caranya adalah memberikan waktu untuk menenangkan diri dengan mengingat Allah swt. Cintailah dirimu sendiri, menjaga diri dengan kesucian berwudu, berzikir, serta selawatlah kamu, niscaya hatimu akan merasa tenang dan tenteram. Jangan lupa untuk menjalankan ibadah yang telah diperintahkan-Nya, serta berserah diri kepada Sang Maha Kuasa.”

“Lalu, apakah itu dengan cepat menyembuhkan lukanya?”

“Percayalah Rina, hanya Allah swt yang mampu membolak-balikan hati manusia. Hanya kepada-Nya kamu meminta pertolongan.”

“Baik, Ustazah. Terima kasih telah membimbingku selama ini.”

“Sama-sama Rina. Jangan dengarkan apa kata orang, aku percaya kalau kamu adalah wanita yang baik.”

“Iya, Ustazah. Sekarang perasaanku sudah mulai tenang. Aku pamit pulang dulu.”

“Ya sudah, hati-hati di jalan, ya, Rina.”

Rina pun pulang menuju rumahnya, dengan berbalut gamis dan hijab syar’i yang menutupi seluruh lekuk tubuhnya. Akan tetapi, itu semua tak bisa membuka pandangan orang lain, ia tetap dikatakan wanita yang tak baik dan hanya mencari perhatian semata akan perubahannya itu. Ia tetap dicemooh oleh orang-orang yang membenci dirinya.

Rina berjalan melewati ibu-ibu yang sedang berkumpul di balai desa. Cibiran itu pun keluar dari mulut mereka.

“Kamu sekarang berhijab, Rin?” tanya salah satu ibu-ibu yang berada di situ.

“Iya, Bu,” jawab Rina dengan senyuman.

“Beneran gak tuh? Apa cuma sebagai kedok aja?” sahut salah satu dari mereka.

“Bener, Bu. Atas nama Allah saya memakainya, buat apa untuk kedok saja tidak ada artinya bagi saya. Apakah orang yang berhijrah itu semata-mata hanya karena kedok?” Rina pun berusaha menjelaskan kepada mereka.

“Wanita penggoda sepertimu, mana mungkin bisa hijrah. Walau kamu cantik, tapi kamu itu dari keluarga yang hina,” celetuk Retno, yang adalah ibu kepala desa di kampung ini.

“Maksud dari Ibu Retno apa?” tanya Rina yang terkejut dengan ucapan Retno.

“Oh selama ini kamu tak tahu? Kasihan, ya, jadi kamu,” tawa Retno kepada Rina.

Rina langsung meninggalkan perkumpulan ibu itu, ia berusaha tak menghiraukan ucapan si Retno. Rina sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan si ibu kepala desa.

Sesampai rumah, Rina langsung bergegas menghampiri emaknya yang sedang memasak.

“Emak, aku mau tanya sesuatu,” ucap Rina yang masih penasaran dengan perkataan Retno.

“Tanya apa, Nak?” ujar Surtini kepada anaknya.

“Tadi Bu Retno bilang kepadaku, katanya aku dari keluarga yang hina. Maksud dari perkataannya itu apa, Mak?” Rina pun bertanya dengan tatapan yang penasaran.

“Oh itu, Emak kirain apa. Udah kamu enggak usah dengerin kata Ibu Retno, ya. Keluarga besar kita kan sangat terpandang di desa ini, jadi wajar saja jika banyak berita miring,” jelas Surtini yang seperti berusaha menyembunyikan sesuatu dari Rina.

“Bener, Mak?” tanya lagi Rina yang masih belum mempercayai omongan Surtini, emaknya itu.

“Iya, Benar, Nak. Sudah kamu mandi dulu sana.” Surtini mengalihkan pembicaraan Rina.

Rina masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Lagi-lagi emaknya tak mau cerita, tetapi ia berusaha untuk bersabar, menunggu Surtini untuk bercerita kepadanya.

***

Rina termenung mengingat apa yang dikatakan Ibu Retno. Di dalam keluarga ayahnya Rina memang banyak begitu msiteri, dari ritual-ritual aneh yang sering dilakukan oleh neneknya, hingga sesajen di mana-mana. Namun, hanya Surtini dan Rina yang tak pernah meneruskan ritual tersebut. Menurut Surtini itu adalah perbuatan musyrik yang tak boleh dilakukan. Semenjak ayahnya meninggal, mereka tak melanjutkannya lagi.

Rina yang penasaran, selalu bertanya kepada sang emak. Namun, setiap kali ia bertanya ke Surtini, tak ada sama sekali jawaban pasti yang diterima Rina. Surtini selalu menutupi rahasia dibalik kisah misteri keluarga sang ayah.

Rasanya apa yang terjadi dalam kehidupan Rina, seperti ada yang mengganjal. Cobaan yang silih berganti dalam hidup Rina, bagaikan teka-teki tak dapat terpecahkan. Saat ayahnya dahulu masih ada, hidup wanita itu sangat bahagia. Sesosok sang ayah yang terpandang di kampung, membuat orang-orang segan dengan ayahnya. Saat laki-laki yang dicintainya itu meninggal, semua berubah, banyak sekali masalah datang bertubi-tubi.

Sang ayah adalah pewaris satu-satunya kebun milik neneknya Rina. Ketika ayahnya pun telah tiada, Surtini dan Rinalah yang mewarisi semua itu. Sebelum ayahnya meninggal, sempat berpesan untuk tak meninggalkan ritual yang selama ini sudah dijalankan agar tak jadi ada masalah dalam hidup mereka. Akan tetapi, Surtini tetap pada pendirian untuk tak melakukan ritual aneh itu.

“Emak, kenapa kita tak melakukan ritual itu lagi semenjak ayah meninggal?” tanya Rina penuh penasaran.

“Sebenarnya, Emak tak pernah setuju tentang ritual itu, tapi ayah tetap melakukannya. Kata ayah, itu sudah warisan turun-menurun dari uyutnya. Emak tak mau jika melakukan ritual itu, kita menjadi musyrik,” jelas Surtini yang memberitahu Rina.

“Tapi, Mak. Semenjak ayah meninggal keluarga kita menjadi seperti ini,” ucap Rina yang seakan sudah lelah dengan semua ini.

“Nak, enggak selamanya kita selalu di atas. Ada masanya kita di bawah, agar selalu bisa bersyukur atas nikmat yang telah diberi oleh Sang Maha Pencipta.” Isak tangis Surtini pun pecah, emak dari Rina itu memeluk sang putrinya dengan begitu erat. “Hari sudah malam, sebaiknya kamu tidur ya,” lanjut Surtini.

“Iya, Mak. Ya sudah aku masuk ke kamar, ya.” Rina pun berjalan memunggungi emaknya itu. Dibalik itu Rina pun bersedih ketika melihat sang emak menangis. Surtini pun juga begitu, tak mampu berkata banyak apa yang sebenarnya terjadi.

***

Teng! Teng! Teng!

Jam dinding antik berukuran besar di sudut ruang keluarga, berbunyi dengan kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Suara itu menggema hingga memekikkan telinga, Rina terbangun dalam tidurnya. Rina pun keluar kamar, menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setiap malam ia salat malam, untuk menenangkan hatinya.

Saat Rina sedang salat, terlihat mata mengawasi di sudut ruang. Berbaju putih, wajahnya cantik, rambutnya panjang terjuntai ke bawah hingga menyentuh lantai, dan sedang menatap Rina dengan senyum yang menyeringai. Dua bola matanya putih polos, menggeliat-geliat, sambil tertawa mengikik, sampai Rina tak fokus dengan salatnya.

Seketika Rina terperanjat, saat sesosok menyeramkan itu tepat berada di hadapan Rina. Kakinya menggantung di atas atap, tubuhnya terbalik memperlihatkan sosoknya tak beraturan. Rina memejamkan mata, berusaha untuk tak menatapnya. Namun, jari-jemarinya  menjalar ke seluruh tubuh wanita itu, hingga tak mampu bergerak.

“Aaa!” Rina berteriak histeris, sampai membangunkan Surtini.

“Rina ...,” panggil Surtini yang melihat Rina berteriak sambil tertidur.

“Rina ....” Surtini pun menepuk pundak Rina, untuk membangunkannya.

“Aaa! Tidak, tolong jangan ganggu aku!” Seketika Rina terbangun dan langsung memeluk Surtini. Napasnya tersengal-sengal seperti habis berlari.

“Kamu kenapa tidur di sini, Nak?” tanya Surtini keheranan.

“Aku tadi terbangun untuk salat Tahajud, setelah salat tanpa sadar aku tertidur di sofa,” ucap Rina sambil memegang erat tangan emaknya.

“Lalu mengapa seperti orang ketakutan?” tanya lagi Surtini.

“Dia datang lagi, Mak. Sesosoknya kali ini benar-benar menyeramkan. Aku takut, Mak.” Cerita Rina kepada Surtini, tangannya gemetar hebat tak karuan.

“Ya sudah, kita kembali tidur, yuk. Emak temani,” ajak Surtini kepada Rina.

Makin lama ini membuat Rina jengah, ia tak tahan lagi dengan semua teror yang semakin lama sering terjadi.

Bersambung ....

Sumpah SepataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang