#Suamiku_Mirip_Oppa_Korea
#Kolab_Mahesa_Salwa
Part 8PoV : Salwa
Usai menikmati sarapan bersama, aku dan Melisa bergegas pamit untuk meninggalkan rumah pada Mas Esa. Pria berbadan tinggi itu dengan setia mengikuti kami hingga teras. Mas Esa berdiri di ambang pintu, sebelum akhirnya benar-benar akan melepas kepergianku.
"Dek? Hati-hati, ya, jangan sampai kecapekan!" pesan Mas Esa pagi ini.
"Iya, Mas. Adek pamit dulu, ya?"
Mas Esa mengangguk. Lalu, kucium punggung tangan pria di hadapan khidmat, sedang dia mengusap ubun-ubunku dengan segenap perlakuan hangat.
"Heleh, Abang ini, kayak mau ditinggal setahun aja, ekspresi tuh! Tolong dikondisikan!" celetuk Melisa. Sepertinya dia sadar akan apa yang dirasa abangnya saat akan melepas kepergian kami berjualan pagi ini.
"Dasar, bocah. Kamu mana tahu rasanya? Dasar jomlo!" kilah Mas Esa balik menyerang adiknya.
"Sudah-sudah! Kayak Tom and Jerry saja, ish," uraiku. Sebelum perdebatan mereka malah semakin membuang-buang waktu.
Akhirnya keduanya diam. Lalu, aku dan Melisa pun berlalu meninggalkan rumah, dengan sepeda motor matic yang sebelumnya selalu ditaruh di kafe untuk keperluan karyawan oleh Mas Esa.
***
Perempatan utama setelah pintu masuk perumahan, memang merupakan tempat strategis dan ramai oleh puluhan penjual kuliner, selain pasar yang tersedia di dekat komplek rumahku. Melisa menepikan motor di dekat tempat yang sebelumnya telah kami sewa. Lalu, kami mulai menata kue di meja lipat berukuran sedang yang telah dibawa dari rumah. Tak henti hatiku berdoa, agar Dia memberi kelancaran di hari pertamaku berjualan di tempat ini.
Suara klakson kendaraan roda empat yang tiba-tiba berhenti, mengalihkan fokus pada kegiatan bersama Melisa pagi ini. Seorang pria berkemeja putih keluar dari balik pintu kemudi, menghampiri kami, yang sebenarnya belum siap betul menerima kunjungan seorang pembeli, karena masih harus menata barang jualan. Langkahnya perlahan mendekat ke arah kami, hingga pertemuan pun tak lagi bisa untuk dihindari.
"Salwa? Kamu ...?" Pria berkacamata itu tak melanjutkan ucapannya, hanya terus berdiri sembari memperhatikan aku dan Melisa.
"Mas Alex, mau beli kue?" tanyaku tak ingin banyak basa-basi. Sedangkan Melisa masih cuek dengan kedatangan pria berdarah Jawa itu.
"Oh, boleh. Aku mau satu lusin untuk dimakan di kantor hari ini," sahutnya tampak semringah.
Aku hanya tersenyum, kemudian bergegas menyodorkan kue yang dia pesan.
"Kamu baru berjualan di tempat ini?"
"Iya, Mas."
"Semoga laris manis. Aku jadi ingat, kalau dulu pernah makan kue buatanmu satu kali."
"Eh?" Spontan pernyataan Mas Alex membuat Melisa tiba-tiba bereaksi.
Aku hanya bisa diam, tak ingin lagi menanggapi.
Masih begitu jelas di ingatan, malam terakhir Mas Esa begitu marah padaku, saat kami harus bertemu Mas Alex di tempat berjualan pedagang kaki lima secara tak sengaja. Pria yang telah hidup satu atap bersamaku tersebut, tak pernah terlihat semurka malam itu. Sampai dia harus meninggalkan istrinya ini seorang diri di rumah, dalam keadaan sesal, meskipun kusadar tak melakukan suatu kesalahan besar.
"Siapa dia, Mbak?" Satu pertanyaan dari Melisa membuyarkan lamunanku dari peristiwa menyesakkan waktu itu.
"Eh? Bukan siapa-siapa, Mel. Cuma teman lama Mbak waktu di kampung," kilahku tak ingin Melisa tahu lebih banyak.
"Ouh ...." Gadis di sisiku hanya mengangguk, kemudian menerima dengan hangat satu kunjungan pembeli yang baru saja datang ke tempat kami.
Waktu berjalan, tak terasa kue jualanku hanya sisa sedikit lagi. Sepasang suami-istri paruh baya yang tak asing di ingatan, turun dari sepeda motor menghampiri. Lalu, menyapaku dan Melisa yang sudah terlebih dulu menyambut keduanya dengan senyum.
"Wah, Mbak Salwa ternyata pintar bikin kue ya? Istri saya lihat di Facebook, banyak yang unggah kue bikinin Mbak Salwa ini katanya enak. Makanya kami datang ke sini sebelum kehabisan," imbuh lelaki yang akrab disapa Pak RT itu ramah.
Aku dan Melisa hanya kembali tersenyum menanggapi.
"Bungkus semuanya saja, ya, Mbak. Buat saya ngemil di rumah hari ini," timpal perempuan berbadan gempal di samping Pak RT.
"Alhamdulillah, baik, Bu RT, aku bungkus semuanya, ya," sahutku seramah mungkin.
Kusodorkan kue terakhir yang hari ini habis diborong Pak RT dan sang istri. Namun, belum sempat perempuan di hadapan menerima satu bungkusan kue yang kuberi, suara kegaduhan dari seberang jalan terdengar, hingga mengalihkan perhatian kami dari tempat ini.
"Eh, itu, kan, yang mirip Oppa Korea! Ya ampun, gantengnya!" seru sekumpulan ibu-ibu di tepi trotoar.
"Eh, jangan pergi, Oppa!"
"Oppaaa!" jerit perempuan lain di sekitar tempat ini.
Tampak Mas Esa memacu sepeda motornya kencang meninggalkan tempat ini. Sementara aku, hanya bisa menggeleng pasrah menanggapi kelakuannya yang tak bisa diajak bekerjasama. Aku menghela napas dalam, sebelumnya akhirnya satu suara terdengar menegur diri ini, "Mbak suaminya membuat kegaduhan lagi, ya? He-he."
"Apa, Pah? Suami? Jadi Oppa Korea itu sudah punya istri?!" pungkas Bu RT tampak tak percaya.
Membuat aku dan Melisa hanya bisa diam, menanggapi pertanyaan wanita berambut keriting di hadapan kami tersebut.
Bersambung ....
Mahesa
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Mirip Oppa Korea
General FictionKetika Perbedaan Lebih Diharapkan Daripada Kemiripan