Kembali ke Jakarta

8 1 0
                                    

Tak tèrasa sudah tiga hari aku dan mas Tio berada disemarang. Hari ini adalah hari terahir kami dikota yang dikenal dengan julukan kota lumpia. Aku segera membereskan baju- baju milkkku dan mas Tio.

"Emang Mas Tio, udah mulai kerja lagi Mbak?" tanya Danu.

"Udah Danu, kenapa? Kamu kesepian ya?"

"Tau aja Mbak, tapi setelah aku pikir- pikir ide Mas Tio, benar juga. Aku lebih baik ikut Mas Tio ke jakarta."

"Ya udah, siapin barang-barang Kamu. Sebentar lagi kita berangkat."

"Iya Mbak, aku siapin baju- bajuku dulu ya," Tio beranjak keluar dari kamarku.

Tepat pukul satu siang kami bertiga sudah berada dibandara. Karena Danu, mendadak ingin ikut ke Jakarta. Ia membeli tiket sendiri di ruang pelayanan konsumen, yang disediakan oleh  pihak bandara.

Siang ini cuaca sangat panas, membuat tenggorokan terasa  kering dan rasa haus melanda.
Mas Tio melirik ke arahku, mungkin di tahu. Kalau aku merasa haus.

"Haus kah De?"

"Iya Mas."

"Ya udah tunggu sini, mas belikan minum dulu."

"Jangan lama- lama. Sebentar lagi pesawatnya datang," perintahku."

Mas Tio menganguk lalu berjalan mencari penjual minum terdekat.

Tring bunyi notifikasi pesan masuk di ponsel milik mas Tio, ternyata mas Tio lupa membawa ponselnya.
Kubuka pesan masuk diponsel mas Tio.
Pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

Kubaca dengan seksama isi pesan tersebut.

"Bro, kalau Lu. Udah sampai Jakarta. Lu kabari gue ya. Gue baru resign dari tempat kerja gue. Gue pingin kerja sama Lu. Arif."

Ternyata yang mengrim pesan adalah Arif, teman mas Tio yang kemarin bertemu di restaurant.

Tak lama mas Tio datang bersama Danu, arah jam menunjukan pukul dua belas lebih empat puluh menit.

Pesawat yang akan membawa kami pulang, dari Semarang menuju ke Jakarta datang. Kami buru- buru check in sebelum masuk pesawat.

Satu jam berlalu kini kami sampai di di Bandar udara Internasional Soekarno Hatta.
Danu nampak senang berada di Jakarta, terlihat dari raut wajahnya yang sumringah sejak, turun dari pesawat tadi.

Mas Tio segera memesan taksi, sementara aku dan Danu sibuk berselfi. Walaupun ipar aku dan Danu sangat akrab. Danu sudah ku anggap adikku sendiri, karena dari dulu aku ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki adik.

"Dasar, Kakak Adik alay," protes mas Tio.

"Biarin, lagian Mas sih. Jadi orang enggak mau gaul. Mainnya sama dunia nyata terus," ledek Danu.

Sebuah taksi berhenti didepan kami, mas Tio mengajak kami untuk segera masuk.

Ahirnya setelah perjalanan panjang kami bertiga sampai dirumah, Danu berjalan duluan. Katanya ia tak sabar ingin berenang di kolam renang.

Aku dan mas Tio berjalan di belakang Danu, ku sederkan kepalaku dilengan tangan mas Tio.

"Capek juga ya Mas, oh ya Mas tadi Arif mengrim pesan Mas."

"Apa katanya De?"

"Dia ingin kesini, katanya kalau udah di Jakarta. Mas disuruh menghubungi dia."

"Oh ya udah nanti lah, kan belum ada lowongan pekerjaan De?"

Aku tersenyum sambil menatap ke arah suamiku, terima kasih Tuhan Kau telah menganugrahkan ku. Suami yang baik dan bisa membimbingku.

Arah jarum jam terus berputar, tak terasa hari sudah malam.
Terdengar Adzan sholat Isya berkumandang, aku dan mas Tio segera mengambil wudhu.

Nampak Danu yang masih sibuk memainkan ponselnya.

"Danu ayo sholat," ajak mas Tio.

"Nanti Mas, tangung."

"Danu, kalau kamu mau tinggal disini. Kamu harus ikuti peraturan dirumah ini," ucap mas Tio.

"Iya - iya," Danu beranjak dari tempat duduk.

Aku dan mas Tio menunggu Danu di teras depan.

"Lamanya Danu," gerutu mas Tio.

"Ayo Mas," ucap Danu.

Kami bertiga berjalan beiringan menuju Masjid, sesampainya di Masjid aku segera duduk bersama barisan shaf  ibu- ibu sementara mas Tio dan Danu berjalan kedepan bersama barisan shaf bapak- bapak.

Tak lama imam masjid datang, lalu kami segera menunaikan sholat isya berjamaah.

Saat sang fajar menyingsing, membawa harapan baru bagi seluruh insan.
Begitu juga denganku, aku yang mengharapkan kehadiran mailakat kecil dirumah ini.
Namun aku tak pernah putus asa, karena aku yakin dibalik kesabaran aku dan mas Tio.
Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah, untuk kami berdua.

Pagi ini seperti ibu rumah tangga pada umumnya, aku memasak sambil mengurus pekerjaan rumah tangga yang lain.
Suamiku adalah sosok suami yang mandiri, sebelum shubuh dia sudah bangun.

"Sudah masak De?"

"Ini udah selesai Mas, tinggal nyuci piringnya."

"Ya sudah Kamu mandi dulu, biar mas yang nyuci piringnya."

"Enggak papa Mas, Mas enggak marah?"

"Tenang Dek, karna mas menikahimu bukan untuk menjadi pembantu, tapi membantu pekerjaan mas."

"Ih so sweet," Aku mencubit pipi mas Tio.

"Sudah sana mandi, bau," ledek mas Tio.

Aku berlalu meninggalkan suamiku, langsung saja aku mandi. Tak lupa aku memoles wajahku. Agar aku selalu menarik didepan mas Tio.

Aku tersenyum didepan cermin, menatap wajahku.

"Mbak, ayo sarapan," panggil Danu.

"Iya bentar."

aku beranjak dari depan cermin, lalu berjalan menuruni anak tangga.
Ternyata mas Tio dan Danu sudah berada dikursi meja makan.

"Cantiknya Istriku ni," goda mas Tio.

Aku tersenyum lalu duduk disebelah mas Tio.
Saat kami sedang asyik menyatap sarapan, terdengar bell pintu berbunyi.

Ting Tung....

Suara bell pintu menghentikan acara sarapan pagi kami, aku bergegas bangun dari tempat duduk.  Berjalan ke arah pintu, saat ku buka pintu. Ternyata Arif sudah berada di depan pintu, bersama dua perempuan cantik.

~Bersambung.

 

Duri Dalam DagingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang