Jadi, bagaimana Yogyakarta sekarang?Bumantara, menghela nafas sejenak. Diambilnya satu koper berwana hitam dengan perasaan gamang juga keresahan yang kian lama kian merebak dalam hatinya.
Pertanyaan itu sebenarnya adalah sebuah pertanyaan yang enggan ia berikan jawaban. Meski sebenarnya, dirinya sudah cukup dilingkupi kebingungan saat ia memutuskan untuk kembali lagi ke kota yang sebelumnya ia tinggalkan.
Satu langkah selesai, kemudian ia berhenti. Koper yang dipegangnya seakan mengakatan sebuah protes tak bersuara kepada pemiliknya. Lantas Bumantara kembali menghela nafas--entah untuk keberapa kalinya. Sebab sesak didadanya masih sama, masih seperti waktu ia meninggal kota ini.
Dipandanginya lalu lalang manusia di bandara siang itu, Bumantara tidak tau berapa banyak orang yang datang dengan sesak yang sama dengannya, atah mungkin beberapa orang datang dengan bahagia yang membuncah begitu hebat di dadanya. Namun satu yang pasti, mereka sedang berdiri di satu kota yang sama, sebagaimana selayaknya.
Tujuh bulan. Entah itu bisa di bilang waktu yang lama atau justru sebaliknya untuk laki-laki yang sedang melarikan diri dari kejamnya kenyataan yang tak bisa ia hindari. Bumantara tidak tahu pasti, ragunya masih sama seperti waktu memutuskan untuk pulang ke sini. Namun kemudian, langkahnya kembali, berusaha mengenyahkan segala perasaan carut-marut itu.
Sebuah kamera analog--yang sebelumnya tersimpan di tas hitam yang ia sampirkan-- dikeluarkan begitu saja. Bumantara pikir, ia harus mengenyahkan semua kegundahannya sebelum tepat ia keluar dari bandara ini. Iya, dia harus memulai semuanya dengan keyakinan yang bulat, sebuah keyakinan yang ingin ia tunjukan adalah bahwa ia sudah tidak menaruh hati lagi pada perempuan itu.
Kemudian untuk beberapa saat, Bumantara berpikir apa yang harus di potretnya sekarang. Orang-orang yang sedang menunggu keberangkatan di boarding room? Atau sekumpulan orang-orang yang menunggu kepulangan? Atau mungkin sosok ayah dan anak perempuan yang sangat menyita perhatiannya?
Mendadak Bumantara tidak bisa menentukan, apa yang harus ia abadikan sekarang--selain lukanya. Bumantara sangat paham bahwa ia begitu mencintai dunia fotografi hingga sekarang. Namun Bumantara tidak pernah tau, bahwa Yogyakarta menyimpan hal yang lebih dia cintai sampai membuat nya kebingungan begini.
Namun lagi dan lagi, Bumantara menghela nafas. Disampirkanny kamera analog itu ke pundak tegapnya. Mungkin untuk sekarang, fotografi tidak cukup untuk mengalihkannya dari luka itu. Maka dengan pasti, Bumantara melangkah kembali. Memutuskan untuk menghadapi semuanya.
Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Kemudian langkah-langkah selanjutnya berjalan begitu saja. Hingga pada satu titik, dimana ketika Bumantara melewati pintu keluar bandara, dia disana. Tepat di sebrang jalan lalu lintas kendaraan di bandara.
Binar Hanindya.
Bumantara terpaku, namun ia berusaha terlihat biasa saja. Ia berusaha terlihat bahwa kedatangan Hanindya di hari kepulangannya dari New York sama seperti menyiram tanaman disaat hujan--tak berarti apa-apa.
Namun kemudian, sebuah pertanyaan yang tadi ia berikan--untuk dirinya sendiri--saat ia tiba di sini, terlintas kembali.
Jadi bagaimana Yogyakarta sekarang?
Bumantara bisa menjawabnya, tentu dia sangat bisa. Namun dia enggan mengucapkannya. Lalu dengan segenap sisa-sisa kekuatannya, Bumantara menjawab pertanyaan itu dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara
General FictionHanindya ingin berhenti. Dia ingin berhenti menyukai Bumantara selama empat tahun ini, dia juga ingin berhenti merapalkan harapan-harapan yang tak pernah menjadi kenyataan. Namun Hanindya sadar, bahwa pemberhentiannya hanya akan membawa dia pada keh...