Prolog

69 10 0
                                    

“Aku bukan anak kecil!”

Itu hanyalah keyakinan yang dilantangkan berulang kali pada dua pengejek di depannya. Hanya sebatas suara.

“Kalau begitu, perlihatkan pada kami buktinya! Ditantang melawan kami saja—kau tidak mau.”

Sepanjang tingkatan tiap tahun di Sekolah Dasar, dua orang lelaki seusianya itu sudah banyak menguarkan kalimat pada perbedaan yang dimiliki wajahnya.

Wajah Mochita yang serupa dengan anak-anak, mungkin dalam definisi mereka.

Jika mereka tahu; betapa luasnya dunia ini, Sekolah Dasar memang berisi anak-anak jika umur mereka masih bertahap dalam satuan.

Tetapi ia merasa lebih kecil dibanding mereka ketika jalanan mengosongkan yang lainnya lalu membiarkan dirinya bertemu dengan mereka.

“Menolak berarti banci!”

"Kalau kau kabur lagi, itu berarti kau benar-benar banci!”

Matanya yang meleleh akan menjadi bahan baru untuk mereka, Mochita mempertahankan dirinya yang bahkan tidak punya asupan daya untuk mendorong mundur mereka.

“Hentikan! Aku bukan anak kecil!”

“Wajah sok imut yang enak dicubit itu tidak pernah diakui. Terima saja kenyataannya.” Anak kedua yang tidak begitu menyeramkan itu membeberkan telapak tangan.

Pemimpin anak itu, yang pantas dengan karakter temperamental, menyeringai ganjil pada temannya. “Hah, wajah sok imut yang enak dicubit?”

“Itu yang dikatakan Ibuku ketika melihat anak itu.”

Mochita mencari seseorang di lapangan luas ini dalam edaran mata. Meski terdapat beberapa orang, mereka tidak memahami penderitaannya.

Ia tidak bisa berpikir banyak ketika mereka bertahap menjejak untuk mendekat, tubuhnya yang tidak siap dituntut untuk menyerang mereka. Ketika hanya kalimat bodoh itu saja yang bisa membuat mereka terjeda beberapa waktu sebelum ‘ujian’ ala mereka, seseorang menyentak mundur bahunya lalu membiarkan urusan itu terbagi.

Mochita menyeru nama orang itu. Matanya yang pedih sedikit terobati.
Dia melayangkan buku tebal dari perpustakaan agar lawan sedikit menjauhinya.

“Tidak ada gunanya kalian mengurusi bentuk wajahnya! Lihat saja wajah kalian ke cermin!”

“Memangnya ada apa dengan wajah kami?”

Mochita merasa; seseorang di depannya tidak mudah terbawa arus pada orang-orang yang menilainya berbeda. Orang itu bisa bertahan dengan dirinya sendiri.

Childish FaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang