Chapter 3

32 8 0
                                    

Aroma lapangan umum yang sama seperti dulu, mengabarkan mimpi buruk baginya, ketidakadilan, juga tekanan yang membuatnya harus bisa melalui hal itu.

Sore ini redup, tidak ada kapasitas cahaya rendah, tapi bukan berarti mendung. Ia membenci cuaca yang memahami hatinya ini. Rumput-rumput liar bahkan dipangkas dan wujud mereka nyaris menyerupai—terakhir kali ia datang ke sini.

Dua orang itu sudah bergabung dengan objek alam—tampaknya—sedari tadi. Mochita menuruni bidang miring untuk terjun ke lapangan itu. Mereka menoleh dengan seringaian.

“Akhirnya, kau menyerah juga.”

“Kami sampai membusuk karena sering di sini, tahu.”

Mochita tidak bisa membentuk raut apapun. Menanggapi mereka seolah siap menghadapinya.

“Sekarang, apa yang membuat kalian risih dengan wajahku?” Aksen tenang, tapi tidak sama dengan angin yang melambaikan rambut mereka.

Dua orang itu saling berdiskusi dengan tatapan, sekilas.

“Hah, wajahmu? Kami tidak peduli dengan wajahmu!”

“Kami akan membahas kejadian yang berhubungan denganmu!”

Ia tidak begitu percaya jika ini bukan tentang wajahnya lagi, sekaligus merasa malu dengan sikap percaya dirinya mengumbar pertanyaan itu.

Mereka agak bodoh dengan jeda bisu. Mochita tidak mau berbicara, dan tampaknya mereka mengerti.

“Gara-gara kau, kami tidak mengikuti ujian kenaikan kelas. Nilai kami tiba-tiba kosong.” Si tokoh utama di antara mereka, seperti biasa, karakter temperamental itu tetap melekat.

“Aku membuat nilai kalian kosong?” Ia merasa enggan melafalkan kalimat itu. “Kapan?”

“Waktu SMP, kau membuatku tercebur ke sungai.” Orang yang kedua itu, dari cara telunjuknya seperti menekan sesuatu yang tak kasat mata di depannya, terluka dengan ingatan itu.

“Masa’ sih?”

“Dengan sepedamu, dasar bodoh!”

Ia mengingatnya dalam bentuk kilasan berkabut di kepalanya. Saat itu, beberapa menit tidak akan berhenti dan ia tergesa dari caranya mengayuh sepeda untuk bergabung dalam ujian akhir sekolah. Ia merasa menabrak seseorang dari jembatan yang tidak dipagari yang melingkar di tubuh sungai.

Mereka sudah beruap dan Mochita terkesiap—berharap ingatan itu salah.

“Kau harus membayarnya. Aku menolongnya sewaktu dia jatuh.”

“Itu ‘kan tidak ada hubungannya dengan kehidupan saat ini.”

“Kau juga membuat kami dicap sebagai orang yang jahat dan pantas dijauhi!”

Mulanya ia menganggap; emosi mereka mudah meledak gara-gara persoalan nilai kosong itu.

“Gara-gara wajah cengengmu itu! Yang selalu membuat rasa rindu menjijikkan sepanjang kami berbicara denganmu!”

Mereka membahasnya lagi.

“Tadi kalian bilang; tidak peduli pada wajahku!” Bunyi kalimatnya bergelombang karena sensasi bergetar yang masih terbungkus di dalam dirinya.

“Untuk sekarang ini.”

“Tapi kesialan kami berawal dari sana.”

Reaksi kakinya mundur selangkah ketika mereka menghentak—sedikit mendekat.

“Apakah kau pernah berpikir jika itu hanya bercanda?”

Tidak pernah.

“Karena penilaianmu yang seperti itu terhadap kami, mata-mata Iblis mulai tertuju pada kami.” Orang kedua itu selalu punya kalimat yang aneh.

Childish FaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang