Chapter 2

26 7 0
                                    

Mochita separuh berusaha melepas lengan tas dari pengait di pinggiran meja, menarik tas ala kadar. Kaki meja sedikit terangkat lalu guncangan yang seolah hendak menyungkurkan meja ke arah kursi itu memuntahkan sesuatu dari rongga meja.

Remasan kertas.

Ia memungutnya, mengulang beberapa kejadian sebelumnya jika itu memang sampah yang tak sengaja ditinggalkannya.

Aku ingin kita bertemu di lapangan, seperti waktu itu. Kami akan tetap menunggumu setiap pulang sekolah.

Ancaman dari mereka. Tujuan itu sama saja.

Ujian ala mereka.

Ia menambah remasan pada kertas jelek itu, mengulumnya rapat-rapat di dalam kepalannya. Yuu benar untuk solusi itu, tapi tidak membantu menemukan celah lain, atau setidaknya lebih aman dibanding bertemu dengan mereka.

“Kenapa kau tampak marah?” Mochita tidak menyadari kelas yang belum seutuhnya sepi dan Haruki menjadi begitu dekat dengannya lalu berusaha membongkar kepalannya.

“Eh!” Ia benci melibatkan orang lain, menyingkirkan tangannya sebisa mungkin.

“Aku hanya ingin tahu, kita ‘kan teman. Aku melihatmu tidak begitu senang saat membaca kertas ini.”

Seruan ambigu saat bersikeras melindungi kertas itu terhenti. Kepalannya seperti dicakar sementara ia tidak mau bersikap mencolok hanya karena sesobek kertas. Haruki mendapatkannya, mulanya begitu antusias.

“Kenapa isinya begitu misterius, ya?”

Mochita tidak mau masalah yang—mungkin kebanyakan orang menganggap—kecil itu tiba-tiba mendapat pertolongan yang berlebihan dari mereka.

Terutama jika itu ditangani oleh seseorang yang akan bersemangat seperti orang itu.

.

.

Mochita mengalami keraguan.

Perlakuan mereka membuatnya mengingat; apakah wajahnya berkarakter sama seperti dulu?
Ia tidak begitu ingat; kapan Yuu menjadi pulang bersama dengannya. Orang itu nyaris selalu bertampang dingin pada setiap kondisi jalanan sore yang tetap ribut.

“Hei.” Ia tak menyangka suaranya akan membuat pemuda itu menoleh.

Hanya gumaman dan gestur alis.

“Menurutmu, apa wajahku terlihat seperti anak-anak?”

“Tidak.” Dia tidak begitu peduli.

“Tapi, wajah seperti ini tidak akan menjadi masalah ‘kan, jika aku berusaha untuk mendapatkan cinta…”

Mochita terjeda dari cara Yuu menyetorkan wajah sinisnya. Bahkan ia merasa kakinya tergerak untuk ikut berhenti seperti orang ini.

“Ada apa denganmu?”

Mochita berusaha bersikap biasa agar tidak mudah ditebak.

Menyeringai. “Jangan pura-pura. Aku tahu kau sedang punya masalah. Mengenai wajahmu, itu seperti berhubungan dengan….”

Ia tidak suka jika perilakunya mudah ditebak, melanjutkan langkah. “Ah, sudahlah. Aku ‘kan cuma bertanya.”

“Wajahmu biasa-biasa saja, kok.”

.

.

Pendapat setiap orang bervariasi. Yuu mungkin bermaksud menghiburnya, mengobati jika kekurangan bukanlah masalah yang begitu besar.

Tetapi besar untuk mereka—musuhnya, setidaknya di antara ia dan mereka.

Ia mencoba bertanya; bagaimana pendapatnya sendiri pada cermin sederhana di kamarnya. Sayangnya kebisuan sudah berlangsung selama sekian menit dan mendadak ia bosan karena cermin tetap mengatakan hal yang sama seperti kemarin.

Cermin tidak bisa menyemburkan keajaiban kecuali jika Mochita sendiri yang mengubah pola pikir.

Beberapa dari mereka yang pernah berpendapat—ada benarnya mengenai rupa yang tidak jelek, tapi ia sendiri tidak begitu percaya diri untuk mengatakan tampan.

Memang wajah ini tidak ada tegasnya.

.

.

Ketika seorang guru yang sudah menyuguhkan ujian harian pada mereka berpamitan untuk pergi, tangan Mochita menangkap remasan dalam rongga bangkunya.

Kiriman lagi.

Pola kalimat yang sama seperti waktu itu. Mereka tetap bersikeras dan mungkin, jika ia mengabaikan, bangkunya bisa dimuati dengan sampah.

Atau, perilaku bercorak lainnya meski dengan maksud yang sama.

Mengunyah kertas itu dalam kepalan lagi, namun dengan pikiran yang berbeda.

Ia seperti mendapat kekuatan dari tekad yang sengaja dimunculkan itu.

Childish FaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang