Prolog

54 7 6
                                    

Jogja sore itu sedang mendung, membuat Lastri terbawa suasana dan kembali mempertanyakan tentang takdir yang sudah mengikat sejak ia dilahirkan ke dunia ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jogja sore itu sedang mendung, membuat Lastri terbawa suasana dan kembali mempertanyakan tentang takdir yang sudah mengikat sejak ia dilahirkan ke dunia ini. Takdir yang tidak dapat diubah dan selalu menyiksanya selama dua puluh tahun ia hidup.

"Menurutmu, apa tolok ukur kebahagiaan seseorang?"

"Pencapaian. Sesuatu yang kita inginkan tercapai."

"Benar. Lalu untuk mendapatkan pencapaian, apa yang dilakukan?"

"Tentu berusaha. Kowe ngomong opo to? Kok malah mubeng-mubeng tekan endi-endi?"

Lastri berhenti sejenak, lalu tersenyum meremehkan, "Apa orang-orang seperti kamu pernah berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu?"

Aurellia menyipitkan matanya kebingungan, "Ten---"

"Bahkan tanpa berusaha melakukan apa pun, orang-orang seperti kamu secara otomatis mendapatkan pengakuan." Lastri memotong ucapan Aurellia.

Mulai lagi! batin Aurellia yang mulai tahu ke mana arah pembicaraan Lastri.

Bagi Lastri, pengakuan adalah kebahagiaan yang mutlak. Tanpa adanya pengakuan dari orang-orang, jalan untuk menuju kebahagiaan tidak akan pernah tercapai.

Perasaan Aurellia mulai tidak enak, daripada terjadi percakapan seperti yang sudah-sudah, ia memutuskan untuk mengakhirinya. "Aku meh bali sik, nek wis ra eneng urusan nang kampus, ndang o bali. Ujian sebentar lagi, banyakin istirahat di rumah, Las."

Aurellia berjalan meninggalkan Lastri yang masih memperhatikannya dari tadi.

"Au!" teriak Lastri dari belakang Aurellia. "Heh, aku isih ngomong. Ngopo mbok tinggal?"

Aurellia berjalan malas, masuk ke kamar indekosnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aurellia berjalan malas, masuk ke kamar indekosnya. Setiap kali berbicara dengan Lastri, gadis itu selalu membahas hal yang sama, tentang takdir yang tidak dapat diubah. Aurellia menuju cermin besar dan duduk di depannya. Memperhatikan pantulan dirinya sendiri dengan saksama.

"Apakah aku yang meminta terlahir seperti ini?" Aurellia mendengkus sebal. "Kalau memang kita bisa meminta untuk terlahir seperti apa ke dunia ini, kenapa mereka juga nggak minta terlahir kayak aku aja?"

Aurellia selalu mengeluh sendirian. Tidak ada yang mau mendengarkan keluhannya, setiap kali ia mengeluh di depan orang lain, ia selalu dipandang sebelah mata. Dianggap tidak bersyukur atas apa yang sudah ia miliki.

Sesekali ia ingin dipandang sama, tetapi sayangnya Aurellia terlahir beruntung.

Terima kasih sudah bersedia mampir dan membacanya! ❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih sudah bersedia mampir dan membacanya! ❤

•Konsultan bahasa Jawa: firefliesip. Terima kasih. Hahahaha.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang