.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Nosung
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
."Jeno-san, tempat ini... Indah sekali."
Menganga, tercengang. Apapun yang bisa mengungkapkan perasaannya kali ini.
Jisung takjub, pepohonan ginko yang begitu indah berhembus karena angin malam, ditambah rembulan yang sangat-sangat menggoda, putih bersih dan besar menyinari ruangan mereka yang agak redup karena lampu malam.
Jeno terkekeh, reaksi kekasihnya sungguh menggemaskan, seperti bocah yang baru pertama kali melihat anak ayam menetas.
"Dua malam, lalu kita pulang. Jadi, mari. Menikmati kencan kita, Jisung." Menarik sang pujaan hati kemudian memeluknya dari belakang sambil menghadap ke jendela kayu geser yang sudah terbuka lebar.
Desahan si tampan terdengar berat, napasnya yang hangat menyapu jenjang leher Jisung, mendengar itu membuat si manis berpikir bahwa yang dialami kekasihnya baru-baru ini memang nampaknya cukup sulit diatasi.
"Aku lelah sekali karena dunia kerja yang begitu sibuk, biarkan aku melakukan pengisian daya lewat pelukan hangat seperti ini." Hidung bangir Jeno mengusap leher kekasihnya, menikmati betapa halusnya kulit sang lelaki idaman.
Jisung mendengarkan kekasihnya dengan seksama, memperhatikan bagaimana usapan wajah pada punggung lehernya dibarengi dengan napas hangat.
"Jeno-san terdengar seperti orang yang banyak pikiran. Apakah ada sesuatu yang terjadi di kantor?" Jisung nampak berpikir lagi walaupun kedua tangannya sudah memeluk erat tangan Jeno yang melingkar di pinggangnya, "atau lebih karena situasi yang kurang mengenakkan? Kesulitan mengatur pegawai baru?"
Jeno menggeleng.
Jisung berpikir lagi, sambil pelan menggerakkan pinggangnya, seolah-olah berdansa lembut dengan Jeno sambil diiringi oleh gemerisik suara dedauan dan serangga malam yang mengerik, "apakah karena pernikahan Shuuto-san dan Ryo-san?"
Jeno sempat terdiam, kekasihnya benar-benar peka.
Pria itu mengangguk pelan.
"Mm... Kurang lebih."
Jisung yang gantian terdiam. Ia tahu jelas apa yang Jeno rasakan. Ia bisa menebak hanya dengan melihat reaksi kekasihnya lewat beberapa pertanyaan.
"Pernikahan dan anak?"
Jisung merasakan Jeno mengangguk pada bahunya. Tak menutupi fakta bahwa pembicaraan mereka menjalar pada topik sensitif.
"Aku terpikirkan saat-saat kita nanti bisa seperti Renjun dan Jaemin atau Ryo-san dan Shuuto-san." Jeno tersenyum simpul, Jisung juga merasakannya dengan jelas.
"Itu juga terpikirkan olehku, Jeno-san." Jisung menyandarkan kepalanya kebelakang, menempelkan pelipisnya pada sekitaran leher kekasihnya.
"Punya anak dari Jeno-san, hidup bahagia setelah menikah hingga tua nanti." Bibir plumnya merekah seperti bunga, "mungkin anak kita bisa jadi adik yang menggemaskan dari anak Renjun-nii dan Jaemin-nii." Ungkapnya optimis, Jisung percaya bahwa perjuangan kakak-kakaknya akan berbuah hasil yang manis dikecap.
Jeno melamun, membayangkan itu semua : Jisung duduk di depan ruang TV sibuk mengikat rambut ponytail anak perempuan mereka bergantian tak lupa menyisir rambut berantakan anak laki-lakinya yang rewel meminta perhatian.
Seusainya mengurus anak, tak lupa istri gemasnya menghampirinya untuk mengancingkan dua kancing kemeja kerja Jeno supaya tertutup rapi, ciuman lembut pada rahangnya disertai kekehan manis seperti madu.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Thousand Paper Cranes - [Nosung]
Fanfiction"Aku berharap Jeno-san dan Jisung hidup bahagia sampai kakek nenek bersama anak-anak yang kami sayangi. Aishiteru, Jeno-san." - Tsuruoka Jisung, 22 tahun. . "Aku berharap untuk kebahagiaan abadi Jeno-san dan istri terkasih." - Tsuruoka Jisung, 23...