Pertemuan dengan Klien

14 0 0
                                    


"Are you sure?" tanya lelaki yang kini jongkok menghadap perempuan yang sudah berbalut jilbab besarnya.

"Bukan kah kamu tadi mengatakannya? Yakin akan menikahiku malam ini? Lalu cukuplah dengan kesungguhan hatimu untuk masuk dalam islam dan memantapkannya dengan mengucap syahadat sebelum akad?" Manik perempuan itu menatapnya dalam-dalam mata biru sejernih air itu.

"Aku tak pernah ragu dalam mengambil keputusan, cukup kau menyambutku untuk aku masuk mengenal tuhanmu untukku." Suara yang terdengar halus, membuat sang perempuan semakin bertalu-talu jantungnya.

"Baiklah, jika nanti ada mahar yang lebih besar ingin kau minta. Cukup katakan setelah akad selesai, aku pergi dulu," lanjutnya, si lelaki dengan paras tampannya, berlalu menuju ruang sebelah di antar orang terdekatnya, dimana penghulu dan warga sudah menunggunya.

*****

"Tunggu! Jangan lari kesana." Ucap mama muda ya berlarian mengejar buah hati yang sedang aktif-aktifnya itu.

Tawa kecil menghiasi wajah mungil dengan pipi yang gembil. Batita alias bayi tiga tahun itu masih senang berlarian tanpa tahu sang ibu sudah kelelahan.

"Sayang, jangan lari kencang-kencang nanti jatuh." Ghazala, wanita dua puluh lima tahun itu segera mendekap si kecil.

Batita itu hanya terdiam kecewa sang ibu sudah menangkapnya duluan.

"Ayok kita pulang, mama mau beli es tung-tung loh..." rayu Ghazala, menyadari anaknya sedang memberikan semburat kecewa.

Seketika itu, Maisha si kecil sudah tersenyum senang, memeluk leher sang bunda yang tertutup jilbab birunya dengan erat. Mereka berjalan pulang menuju rumah setelah bermain ditaman komplek. Sebuah kegiatan rutin seorang Ghazala selama dua bulan bersama sang putri.

"Assalamu'alaikum." Ghazala mendudukkan anaknya di sofa, sembari memberikan cup es krimnya.

"Loh, cucu jiddah sudah pulang." Ibu berumur 50 tahun menghampiri sang cucu yang sudah asyik dengan dunia es nya.

"Aduh, ini pipinya sudah belepotan gini toh..." Sang nenek menciumi pipi gembil Maisha, sedang si empunya terkikik geli tanpa suara.

"Iya tuh mam, Maisha ga mau pulang tadi. Mana belum mandi lagi," jelas Ghazala sambil menyiapkan makan malam mereka.

Satu hal yang tak bisa di ungkapkan, betapa Ghazala sangat menyayangi putrinya sepenuh hati, apalagi dengan kondisi Maisha yang berbeda dari anak seusianya bahkan mungkin sampai nanti dewasa. Karena putrinya menjadi anak tunawicara.

"Kamu siap-siap aja, katanya mau ketemu calon klien mu." Mami Ghazala mengendong cucunya untuk memandikannya.

Ghazala memang terkadang harus siap berjauhan dengan Maisha, bagaimanapun ia hanyalah parent single setelah satu tahun bercerai dengan Damario, mantan suaminya.

Menjadi translator membuatnya harus ekstra sabar dibalik harus mencari penghasilan ditambah dia menjadi dosen sementara, dia juga harus bisa memilah siapa kliennya. Hidup dikota besar bersama dengan sang ibu yang selalu menguatkannya dan juga buah hati tercinta membuatnya menjadi wanita tangguh yang tak lagi harus menangisi keadaan.

"Mami pergi dulu ya sayang," ucap Ghazala yang mengelusi kepala si kecil, yang tengah asik terlelap.

"Aku pamit dulu ya mam." Ghazala bersalaman dengan sang ibu yang masih harus menjaga sang cucu di umur senjanya.

Bukan Ghazala ingin merepotkan, tapi putrinya sudah dekat dengan Eyangnya meski sempat dengan babysitter.

Taksi online yang sudah dipesannya menunggu diluar gerbang. Kanqya menuju mall besar di pusat Jakarta, Grand Indonesia untuk bertemu kliennya malam ini. Dia sudah reservasi di tempat makan Pepper Lunch. Pertemuan informal membuatnya memilih mall pusat kota. Menurut asistennya klien berasal dari dari Jerman berdarah campuran Italia dan bekerja di universitas Lund di Swedia, entah kenapa memilih Ghazala sebagai partnernya.

Kala Senja di RomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang