PROLOG

14 1 0
                                    

"Sou ne." (Begitulah)

...

..

.

Hari-hari yang kerjaannya menarik dan membuang nafas.
Tanpa arah atau tujuan yang jelas.
Mengalir begitu saja, tak ada tabel pencapaian,  visi kehidupan atau sekedar angan-angan untuk bermimpi.

Kosong dan transparan.
Bening, tembus pandang isi kepalaku. Tak ada pergerakan diantara neuron otak. Bahkan untuk saling bergesek.
Begitu bobrok dan rapuh.
Bolehlah, disebut tak berguna sekalipun.

Hanya jiwa tanpa emosi. Bak cakrawala yang diselimuti mendung. Kelabu. Tak bergairah.
Jiwaku padam. Seolah pemukiman yang kehilangan sumber listrik sebab di porak-poranda kan badai.
Saling acak dan tak bertaut.
Jauh daripada destinasi impian.
Tak ada sedikitpun ekspresi yang terpancar.

Datar, samarata.
Tak menarik untuk dibahas. Tak menawan untuk dilihat. Tak enak untuk diperdengarkan. Tak asik untuk di bicarakan. Itu aku.
Lagi pula, aku tak butuh pengakuan hal seperti itu. Memang sudah biasa  dianggap tidak ada. Dan percayalah aku sudah terbiasa.

Menjalani kehidupan, yang rasanya seorang diri. Tanpa kawan atau orang sekitar yang katanya makhluk sosial. Bagiku biasa saja.
Tak perlu takut sendiri, karena aku sudah sering berparade sendirian.

Tak asing lagi dengan sepi.
Aku sudah berkawan baik dengan kondisi yang namanya kesepian. Dia teman karibku. Jikalau tak ada kegiatan harian yang sering ku lakukan, dia selalu menghampiriku dan menghabiskan waktu berdua, romantis bukan?

Menjalani hidup hanya berdua, dengan makhluk bernama kesepian  menghabiskan waktu dan melakukan banyak hal, hanya dengan berdua. Menarik kedengarannya.

Hanya.
terkadang aku bertengkar dengannya.
Beradu argumen, dan kalah.
Kekalahan itu, menyisihkanku dalam ruang bernama kebosanan. Aku di isolasi olehnya. Di belenggu, ditikam dan di asingkan. kawanku selanjutnya adalah benda-benda mati di sekitarku.

Gila.
Kupikir aku akan sakit jiwa karena merana di asingkan oleh sepi.
Kupikir akan kacau balau.
Hingga akhirnya, aku memutuskan.
Untuk mengunci jiwaku dalam peti mati dan membayar orang untuk mengubur dalam-dalam ketakutanku. Mengubur jauh-jauh perasaanku yang hilang, Membiarkan jiwa dihiasi tanpa emosi.
Dingin.

Pengontrol emosiku, dikuasi oleh armada sadness. Di kendalikan oleh Melower. Dengan laksamana nestapa yang berabad-abad lamanya bertahan dalam sembilu, luka yang membuat kuat dan mengucap sumpah, bahwa ia akan  menghabiskan jatah hidupnya dalam jurang ketiadaan, kehampaan dan rasa sakit yang membuat ia bertahan.

Se-ngeri itu.

Walaupun begitu.
Aku tetap menjalani fase hidup yang nyata. Bukan imaji yang menggerogoti jiwaku.

...

Brakkk....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gradasi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang