Semestinya di rabu pagi ini menjadi rabu yang tenang, namun tidak lagi kala Ocean kembali bersiteru dengan beberapa Kakak Kelas yang katanya memiliki wilayah tersendiri yang tidak boleh siapa pun injak, ah percuma saja, karena seluruh daerah sekolah adalah daerah otoriter bagi Ocean sendiri. Ia tidak merasa takut, karena ia bersekolah dengan uang orang tuanya yang otomatis menjadi uangnya juga. Ada masalah apa sampai ia sendiri harus takut berada pada tempat yang kalau bisa dinilang sudah ia bayar itu.
Ocean bersedikap dada, memandang remeh salah satu Kakak Kelas yang mengenakan hoodie berwarna merah itu dengan penuh tantangan. "Mau apa lo? Membully gue?"
"Sopan dikit."
"Gak."
"Ngeyel banget sih."
"Emang."
"Pergi lo!"
"Gak."
"Berani juga," kalau tidak salah, yang berbicara kala itu adalah Heera, ketua geng mereka. "Berasa penguasa banget, Buk?"
"Gak."
Heera geregetan sendiri, ia hendak menjambak rambut Ocean namun batal kala ia mendapati serangan telak melalui pelototan mata Ocean. "Mau apa lo!?"
"Ck, cabut gengs." Heera tiba-tiba saja menyerah, walaupun dirinya adalah Kakak Kelas, ia sadar betul siapa yamg saat itu menjadi rivalnya. "Awas lo ya!"
"Mungkin nggak akan seawas itu."
Heera mendesis kesal, ia berbalik dengan berjalan menghentak, diikuti dayang-dayangnya yang lain. Ocean hanya mengendikkan bahu asal, merasa telah puas mengalah telakkan seseorang, ia merasa perlu mencari orang lain untuk ia usik. Ntah lah, ia hanya merasa lebih senang menjadi sorotan dengan alasan klise yang cukup membuat banyak orang tergugah. Walaupun banyak yang menganggap dirinya tidak berguna, sejelas mungkin Ocean ungkapkan bahwa ia benar-benar tidak peduli. Menjadi bocah kampung yang lebih suka mencari masalah itu lebih memuaskan hatinya dari pada harus repot-repot beratitude baik hanya demi sebuah pujian.
Sepanjang koridor sekolah tempat ia bebas bernyanyi dengan puas tiba-tiba saja membuat seseorang memandangnya dengan sorot berbeda. Itu Gatra, dan Ocean menyadari keberadaan pemuda itu. Ide cemerlang tiba-tiba saja datang menghampiri, gadis pirang itu berjalan mendekat ke arah tempat Gatra sedang duduk. Ia tersenyum sok manis lalu menyapa Gatra dengan nada centil.
"Halo, Gatra!"
Gatra hanya tersenyum tipis seperti biasa. Pemuda itu masih merasa kikuk kala mengingat kejadian beberapa hari lalu tentang pernyataan terang-terangan Ocean. "Hai."
"Sendirian aja?"
"Iya."
Ocean mengerling, ia duduk dengan bebas di samping Gatra. "Oh, jadi gue udah bisa gantiin posisi Diva?"
Mendadak atmosfir memberat, Gatra berdeham sebentar lalu bangkit. "Gue ke kelas dulu."
"Kok pertanyaan gue nggak dijawab?"
"Sori, tapi gue nggak bisa mengganti seseorang yang gue sayang begitu aja."
"Hm, yaudah, besok lo bakalan sayang kok sama gue."
Sementara Gatra membatu, Ocean justru tertawa kecil. Gadis itu bangkit lalu menepuk-nepuk pundak Gatra sebentar lantas beranjak pergi lebih dahulu meninggalkan sosok Gatra yang masih belum sadar sepenuhnya.
Menghela berat, Gatra menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu terkekeh pelan. "Selalu seambisius itu."
🌊
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter
Teen Fiction"Kenalin, gue Oceana bisa lo paggil tuan putr- eh maksud gue, Sea."