3: Opera

11 0 0
                                    

Hiyoshi masih tidak menyapaku hari ini, aku tidak mengerti bagaimana ia bisa lebih sayang terhadap seekor kucing ketimbang diriku. Tadinya aku berfikir untuk minta maaf kepadanya hari ini, namun ia wajahnya menjadi sangat masam ketika tahu bahwa aku yang mengetuk pintunya. Ia berlari keluar rumah sebelum aku bisa menghentikannya. Aku hanya bisa menghela nafas dengan berat melihat tingkahnya.

Ibu menyuruhku untuk membersihkan gudang sebelum ia pergi kerja pagi ini. Dengan berat hati aku hanya bisa mengiyakan apa yang dikatakannya. Lagipula, aku tidak memiliki kegiatan lain yang dapat kulakukan hari ini karena biola ku masih dalam reparasi. mau tidak mau, aku tidak memiliki alasan untuk menolak.

Dua jam aku membersihkan tumpukan koran dan debu yang sangat tebal menyelimuti seisi gudang ini. Lalu aku menemukan sebuah kotak coklat dibalik tumpukan koran yang belum kubersihkan. Di dalamnya masih tersusun rapih koleksi opera klasik yang kurasa milik mendiang Ayahku. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan keseluruhan isi dari kotak tersebut dan hanya mengambil salah satu CD yang mebuatku tertarik dengan lagu yang tertulis di atasnya.

"Requiem in D Minor"

Requiem karya Mozart yang terkenal dimainkan dengan nada D minor adalah mahakarya yang diselimuti misteri, membuatnya semakin memesona, menarik, dan mengaduk secara emosional.-

Ayah pernah memainkannya untukku suatu waktu. Namun aku tidak sempat untuk memperhatikan makna dari musik tersebut karena mataku hanya tertuju pada tangan ayah yang bermain dengan sangat indah dengan melodi yang cukup rumit tersebut. Kurasa ia tidak ingin aku mempelajari musik yang cukup rumit di usiaku waktu itu. Jarinya bergoyang dari satu senar ke senar yang lain dan tangannya yang lain juga mengerek bow nya dengan sangat anggun. Terkadang aku juga berfikir untuk tidak perlu menemukan makna dari musik yang ia mainkan. Ya, karena menurutku ialah makna dari musik itu sendiri.

Kubawa CD itu ke kamar dan ku keluarkan pemutar tua yang disimpan oleh ibu dibawah kasur. Aku tidak ingat kapan Ibu menyimpan ini dibawah kasurku. Lalu kusambungkan pemutar tersebut pada televisi dan kumasukan CD tersebut secara perlahan. Untung saja tidak ada bagian yang rusak dari pemutarnya.

Tirai merah pun terbuka dalam video tersebut, kurasa inilah cara orang di era pertengahan memulai sebuah teater. Musik pun dimainkan. Nadanya khas sekali di telingaku karena aku sangat menggemari Mozart. Pembawaan awalnya membuatku terhanyut oleh tarian yang dibawa oleh beberapa orang berbaju lawas, khas sekali wanita cantik era pertengahan. Mereka seperti menarikku kedalam imajinasi yang mereka buat. Ritme melodi yang disampaikan Mozart kepada pendengarnya, membuat imajinasi tersebut terasa semakin hidup.

Sang karakter utama yang digambarkan sebagai wanita yang pundung. Tarian nya didampingi oleh alunan nada yang membuatku mampu mengimajinasikan apa yang dialaminya. Kehilangan, kesedihannya karena ditinggalkan oleh sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Juga kebahagiaanya yang direnggut secara paksa tergambar sangat jelas merasuki otakku.

Kemarahannya hanya membuat dirinya semakin terlihat lemah, tariannya menggambarkan tangis dan rasa bersalah. Dia kehilangan banyak hal yang ia cintai. Semua telah direnggut oleh orang-orang disekitarnya. Dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengambilnya kembali, dia lemah. Hanya bisa duduk membiarkan api hidup melahap segala yang ia miliki. Lalu ia menyerah dan terjatuh, bersamaan dengan musik yang juga telah usai dimainkan. Tirai yang tertutup disambut oleh tepuk tangan yang sangat meriah oleh penonton, begitu pula air mataku yang menetes dari sudut bola mataku.

Opera tersebut telah usai. Aku bertanya-tanya kenapa aku menangisi hal semacam ini. Padahal aku tidak pernah merasakan apa yang dirasakan wanita tersebut secara langsung. Kenapa?

"Resha! Dimana kamu?!" teriak seseorang dari luar kamarku.

"Aku disini, ada apa?"

"Hiyoshi, dia ditabrak kendaraan!" ucapnya dengan nada yang terengah.

Kepalaku terasa kosong, kubanting pintu kamarku dan langsung berlari keluar rumah. Aku tidak sempat untuk memikirkan diriku sendiri. Bayangan dari wanita di opera tadi kini mulai membuatku membayangkan hal yang sangat buruk. Berlari, aku berlari. Dengan harapan tidak ada hal buruk yang akan terjadi menimpanya. Aku tidak ingin kehilangan seseorang yang kucintai seperti wanita dalam opera tersebut.

Dari kejauhan, aku melihat kerumunan orang yang sedang melihat sesuatu. Asap mengepul di satu titik dan aku langsung berlari lagi berusaha menerobos kerumunan orang disana.

Namun, yang mereka lihat adalah darah yang mengalirdari kepala adikku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Moonlight SonataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang