PART II

16 3 1
                                    

Ohayou gozaimase😉😉😉

Jangan lupa tinggalkan jejak

HAPPY READING

Life must go on. Kata-kata itu selalu terucap dari mulut orang-orang yang tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya kehilangan. Ya, hidup memang terus berjalan. Tapi, ada saatnya dimana raga merasa lelah dan butuh rehat yang entah sampai kapan akan kembali merasa baik. Atau ... tidak akan membaik lagi? Entah ... hanya dia yang tahu.

Untuk orang yang tidak pernah merasakan sakitnya kehilangan. Mendekatlah, akan kuceritakan bagaimana rasanya saat hati tak berhenti mengeluarkan darah dan air mata tak sanggup lagi keluar. Aku tahu pasti semua orang pernah merasakan kehilangan. Entah itu kehilangan uang, buku, hewan kesayangan atau lainnya.

Namun ... ini berbeda. Saat kau tak tahu apa-apa dan dihadapkan pada situasi dimana seharusnya kau tidak mengenal  apa itu rasa sakit. Kau dihadapkan lebih dari itu. Yang lebih menyakitkan.

Hal itu pernah kurasakan saat duduk dibangku Sekolah Dasar. Yang dimana pada awalnya saat dimana seharusnya di usia 6 tahun masih merasakan bahagianya kasih sayang orang tua, harus hancur dalam semalam. Ayahku berselingkuh dan Ibuku tak terima. Ya, wanita mana yang sanggup menerima suaminya yang berselingkuh? Akupun jika berada di posisi Ibuku pasti akan mengambil keputusan yang sama.

Cinta. Hal itu selalu kupikirkan. Jika memang cinta ada diantara Ayah dan Ibuku, mana mungkin Ayah berselingkuh. Kata orang cinta itu adalah dimana saat kau rela melakukan segalanya bagi orang yang kau cinta. Berjuang, rasa sakit, dan akhirnya merelakan saat cintamu tak tergapai. Cinta memang selalu beriringan dengan rasa sakit. Saat cintamu dikhianati, maka rasa sakit yang tidak berkesudahan akan muncul. Sepertinya hal itulah yang dirasakan Ibuku selama ini.

"Kamu mau ikut Tour Sekolah kan?" Pertanyaan itu mengagetkanku dari lamunan.
"Hah Tour?" ulangku. Memang sedari tadi aku tidak mendengarkan percakapan Kasih dan Ghina. Hanya saja kebiasaan melamunku kembali mengambil alih.

"Iya Tour, ikh ... Sela, kamu gak denger kita dari tadi ngomong gitu?" Pertanyaan dengan nada merajuk itu membuatku terkekeh pelan.

"Lagi ngelamun dia, Na. Mana denger," cetus Kasih saat tahu jika sahabatnya itu sedang melamun saat dia dan Ghina sedang berbicara.

"Kebiasaan banget sih, Sel. Bikin orang kesel tau nggak. Emang lagi mikir apaan sih? Sampai gak denger kita ngomong?" Sifat keponya kembali mencuat kepermukaan.

"Gak mikir kok. Cuman lagi pengen ngelamun aja, boring soalnya". Jawaban terlucu yang pernah aku keluarkan. Lebay.

***

Hujan sedang mengguyur kota sejak dua jam yang lalu, dan aku masih duduk termenung di halte bus menunggu hingga hujan reda.

Aku heran, sejak tadi menunggu dan seharusnya bus yang akan membawaku pulang seharusnya sudah datang. Namun, hingga setengah jam berlalu bus yang kutunggu tak juga datang. Mungkin bannya kempes? Pikirku.

Suara deruman motor membuatku mengalihkan pandangan dari sepatuku. Seseorang baru saja berhenti tepat didepan halte tempatku berlindung diri dari hujan. Aku diam, menunggu sampai orang itu membuka helmnya.

"Sel, ngapain duduk disini? Bukannya lo dari tadi udah pulang duluan?" Pertanyaan itu meluncur sesaat setelah Dean membuka helm dan menyugar rambutnya yang agak panjang dengan jemarinya.

Aku tersenyum. Heran, kenapa disaat-saat seperti ini mengapa selalu Dean yang muncul.

"Tadi kehujanan pas mau pulang, jadinya neduh dulu," balasku.

Dean sibuk dengan helm yang tergantung dibagian belakang motornya. Melepas kaitan. Setelah terlepas, dia berbalik dan memberikan helm warna pink itu padaku.

"Ayo, gue anterin. Kasih udah pulang duluan tadi. Jadinya, gue sendiri," ajaknya sambil duduk kembali keatas jok motor.

Aku segera memasang helm milik Kasih itu dan duduk di boncengan motor Dean.

"Udah siap?" tanyanya yang kubalas dengan tepukan di bahunya. "Jangan lupa pegangan, nanti kalau lo jatuh bisa ribet," ujarnya dengan nada canda. Setelah itu Dean langsung melajukan motor Sportnya.

"Masih ingetkan rumah aku dimana?" teriakanku kalah dengan derasnya suara hujan, melihat Dean tidak membalas pertanyaanku. Kutepuk bahunya hingga dia sedikit berbalik dan melirikku. "Apaan?" teriaknya kencang. Sekali lagi, kuulang  pertanyaan yang sama dan dijawabnya "masih inget gue rumah lo". Oke, Dean memang pernah mengantarku pulang kerumah. Saat itu kita masih kelas sepuluh dan keadaannya aku sedang tidak dijemput oleh kakakku. Jadi kuputuskan menunggu bus di halte. Dan, yah. Dean muncul. Itu mengapa saat dia datang tadi kukatakan bahwa selalu dia yang muncul di saat-saat seperti ini. Memang ini kedua kalinya, tapi bukankah kita selalu mengingat kebaikan seseorang? Apalagi disituasi yang sedang sulit.

Aku turun dari motor Dean dengan berpegangan di bahunya. Bukankah sudah kubilang bahwa motor Dean ini tinggi? Ini jenis motor anak orang kaya. Motor sport. "Makasih udah nganterin," ujarku. Dean hanya mengangguk lantas kembali melajukan motornya yang sebelumnya dia membunyikan klakson tanda pamit.

Aku masuk kedalam halaman rumah setelah membuka pintu pagar yang terbuat dari besi setinggi dada orang dewasa. Disambut suara teriakan yang sudah biasa terdengar. Lagi, suasana hatiku kembali buruk setelah tadi sejenak membaik. Membuka pintu rumah bercat putih yang sudah agak pudar.
"Ma, Erra itu gak kenapa-napa. Jadi, aku gak ngasih tau mama." Itu suara kakakku yang pasti sedang menjelaskan kejadian beberapa hari yang lalu pada Ibu. "Gak apa-apa gimana maksud kamu? Kepala Adik kamu sampai berdarah dan dapat beberapa jahitan. Kamu bilang gak apa-apa?!" Teriakan Ibu menggema di ruang tengah yang sudah jelas pasti terdengar hingga kedepan. Melihat rumah kami yang kecil.

Setelah itu hening. Mungkin Ibu sudah mulai tenang. Melanjutkan langkah hingga kudapat Ibu yang sedang duduk di kursi meja makan dan kakak laki-lakiku sedang berdiri mengusap bahunya. Selalu begitu, setelah tarik suara. Bang Ando pasti mengusap bahu Ibu bermaksud menenangkannya. Beginilah keadaan keluargaku setelah Ayah meninggalkan kami. Bukan, bukan Ayah yang meninggalkan kami. Tapi, kami yang meninggalkan Ayah.

"Erra ... kamu kok pulangnya lama, Nak?" Ibu langsung berdiri begitu melihatku sampai diruang tengah. Bang Ando menjauh memberi ruang bagiku dan Ibu. Sungguh kakak yang pengertian.

"Erra tadi neduh dulu, Bu. Jadi pulangnya lama. Maafin Erra kalau buat Ibu khawatir lagi," ucapku pelan

"Udah kamu mandi dulu. Nanti masuk angin terus makan yah." Suruh Ibu yang kubalas dengan anggukan, setelah itu masuk kekamarku yang memang berhadapan dengan ruang makan. Bang Ando sepertinya masuk kekamar yang berada tepat disebelah kamarku. Pasti dia juga tertekan dengan keadaan kami yang seperti ini. Sebagai laki-laki, dia jelas punya tanggung jawab yang besar menjaga aku dan Ibu. Aku terus saja membuatnya susah. Maafkan Adikmu ini.

Bersambung ....

Jangan lupa vote & comment

I Am Not Okay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang