"Yen ing tawang ana lintang, cah ayuu … "
Pak Mono mengarahkan gunting tanaman pada pohon beringin di hadapannya, menggunting tiap sisi daunnya sampai pohon yang tingginya sepadan dengannya itu terlihat apik bentukannya. Mulutnya tidak berhenti bernyanyi menggumamkan lirik bahasa jawa dengan begitu fasih.
Sudah 10 tahun lamanya pria yang kini berkepala lima itu bekerja pada keluarga Adiwangsa dan sudah 7 bulan ini ia beralih menjadi sopir pribadi Raskal.
Awalnya Richard, sang ayah tidak terima karena Raskal merebut sopir pribadinya tapi dengan paksaan yang Raskal ajukan membuatnya lebih baik mengalah.
"Pak Mono."
Si pemilik nama menoleh lalu tersenyum lebar melihat istri majikannya kini duduk di undakan teras sambil meletakan kopi hitam. Tidak perlu bertanya, sudah jelas itu untuknya.
"Waah … terima kasih mbak Tata, padahal saya sudah minum kopi tadi loh," jawabnya dengan raut wajah sumringah membuat siapapun yang melihatnya ikut merasakan aura positif dari pria paruh baya itu.
Thalita tertawa ringan, "Nggak papa biar nggak ngantuk potong rumputnya," ucapnya. Pak Mono mengacungkan jari jempol kanannya sebagai kata 'siap' dan kembali melanjutkan kegiatannya.
Sudah pukul setengah tiga sore dan matahari masih bersinar terang tanpa ada tanda-tanda sinarnya akan surut. Saking panasnya Thalita menyipitkan matanya merasa silau saat menatap ke arah depan, persisnya memperhatikan Pak Mono yang sedang jongkok merapikan rumput teki.
Tidak bisa Thalita bayangkan bagaimana panasnya punggung pria tua itu karena tersengat matahari yang panasnya bisa saja membakar kulit.
"Pak Mono!" Panggil Thalita kembali dengan suaranya yang keras, "Istirahat dulu pak! Kopinya diminum," ucapnya sesudah Pak Mono membalikkan badan. Pria itu tertawa dan meninggalkan pekerjaannya untuk menuruti perintah majikan.
Mendekati keran air yang tersedia, Pak Mono mencuci tangan, kaki juga wajahnya. Merasa cukup bersih ia bergegas duduk di teras bersama dengan Thalita yang lagi-lagi menyuruhnya untuk minum.
"Ih Pak Mono mukanya gosoongg," seru Thalita begitu melihat wajah pria tua di hadapannya tampak lebih gelap. Pak Mono tertawa, "Laiyo orang dasarnya sudah gosong begini dari lahir," katanya lalu disusul tawa oleh Thalita.
Pak Mono meminum kopinya sedikit, meletakan cangkirnya seperti semula lalu mengipasi wajah menggunakan topi caping yang ia kenakan. "Mbak Tata lagi ndak sibuk to?" Tanya Pak Mono merasa penasaran karena tumben sekali Thalita duduk ngemper seperti sekarang.
Thalita tersenyum, "Sibuk ngapain pak? Aku kan kerjanya cuman makan sama tidur aja … masih sibukan Pak Mono tau," balasnya disusul tawa oleh Pak Mono, "Hahaha … yo wong tumben duduk di sini, biasanya kan ndak pernah."
"Biasanya tidur siang, tapi nggak ngantuk. Daripada bosan ya mending sama Pak Mono disini hehehe."
"Mana mas Raskal lagi kerja ya mbak? Jadi tambah sepi," Thalita sangat menyetujui ucapan Pak Mono itu. Ia mengatakan kalau dirinya selalu kesepian setiap kali Raskal pergi bekerja, tidak ada orang lain selain dirinya juga Pak Mono yang singgah di rumah kala suaminya sudah pergi meninggalkan rumah.
"Nanti kalau sudah punya anak pasti ndak sepi lagi. Sudah berapa bulan Mbak Tata?"
Thalita langsung tersenyum, menundukkan kepala dan mengusap perutnya yang sedikit maju sekitar 3 cm itu."Tiga bulan jalan empat Pak," mendengarnya Pak Mono ikut senang, "Alhamdulillah … semoga Mbak Tata sehat-sehat terus sampai lahiran nanti dikasih lancar nggih mba," doanya tulus dibalas 'Aamiin' paling serius oleh Thalita.
Berbicara mengenai anak Thalita jadi ingat cerita Pak Mono dahulu saat dirinya masih berpacaran dengan Raskal. Pak Mono ini mengalami nasib memilukan yaitu kehilangan anaknya saat baru beberapa menit dilahirkan ke dunia.
Mirisnya tidak hanya sekali, itu terjadi sampai tiga kali berturut-turut. Dan setelah kali ketiga itu Pak Mono belum kembali dikaruniai anak sampai sekarang, atau mungkin tidak.
Tidak bisa Thalita bayangkan bagaimana sedihnya Pak Mono juga sang istri kala itu tapi yang Thalita lihat Pak Mono adalah sosok yang tegar.
"Pak Mon -- " Thalita diam saat perutnya tiba-tiba terasa sakit. Refleks tangannya memegang perut dan meringis kecil sampai keningnya berkerut meresapi sakit yang semakin terasa.
Pak Mono yang melihat itu langsung panik, "Mbak Tata kenapa? Perutnya kenapa?".
Sambil menahan sakit Thalita memaksakan senyum kepada Pak Mono dan berkata kalau dirinya baik-baik saja.Terus, ia pamit dan masuk ke rumah berniat menuju kamar namun baru saja sampai di ruang tamu sakit dalam perutnya semakin terasa dan itu memaksa Thalita duduk di sofa.
Ia tarik nafas panjang lalu dihembuskannya pelan, bukannya berkurang justru perutnya semakin nyeri sampai ia harus membungkuk dan tanpa sadar menekan perutnya sendiri.
Tidak mau orang lain melihat dirinya yang tengah kesakitan Thalita kembali berjalan paksa menaiki undakan tangga menuju kamar.
Sakit ...
•••
Terima kasih sudah baca🌹
Hari ini lagi nggak ada napsu buat cuap-cuap jadi, mau bilang jangan lupa voment meskipun kamu udah baca berkali-kali.Kurang panjang part-nya?
Iya, tau.
KAMU SEDANG MEMBACA
R E A L I T A [ TERBIT ]
Teen Fiction🔺Terbit di penerbit naratama 🔺Masih bisa di order ••• Menikah adalah kebahagiaan. Jika dibayangkan mungkin seperti bunga-bunga yang senantiasa bermekaran di taman. "Setelah menikah hidup kita akan jauh lebih sempurna," kira-kira itulah kata-kata...