1. DIA

9 1 0
                                    

Budayakan memberi vote sebelum membaca!

.
.
.
.
.

Happy Reading


1. DIA.









Setelah kejadian beberapa waktu lalu. Erlangga masih kepikiran dengan sosok perempuan itu. Sosok perempuan berkuncir kuda. Semua itu masih jelas dalam pikiran Erlangga. Seperti ada magnet ketika perempuan itu pergi. Perempuan dengan rambut berkuncir kuda, sangat simpel. Namun seperti ada kesannya tersendiri. Seperti ada sesuatu di dalam diri Erlangga yang sulit untuk di jelaskan.

Erlangga memilih pergi. Setelah menyalin PR milik Sajak dia memilih pergi dari kelas. Karena dirinya belum sarapan, Erlangga memilih mendatangi kantin. Pagi-pagi seperti ini otaknya sudah dikuras habis oleh sesuatu yang tidak masuk di akal.

Selepas dia pergi dari kelas. Tentu saja keadaan tidak akan biasa saja. Sudah tentu Pa'i, Ojan dan Aji membicarakan kepergian Erlangga. Belum lagi ditambah oleh Satrio, Kasla dan Raditya, lengkap sudah. Disana yang masih diam saja hanyalah Sajak. Orang itu malahan mengerjakan LKS. Lebih baik dia mengisi buku LKS nya, itu lebih baik dari pada menghibahi sahabatnya, katanya.

"Si Bos kenapa woi? Tumbenan amat pergi sendiri. Biasanya walupun pengen sendiri, pasti dia minta temenin Sajak, Pa'i atau gak Aji." Raditya berujar. Yang lainnya mengangguk betul. Terkecuali Sajak. Catat itu.

"Gue juga bingung." Ucap Aji.

Yang lain terdiam berpikir. Tiba-tiba terlintas dalam pikiram Satrio tentang kotak bekal itu.

"Mungkin karena kejadian tadi, soalnya tadi pagi,,," Ucap Satrio. Sengaja dia menggantungkan ucapannya.

"Tadi apa? Tadi kenapa?" Tanya Pa'i, Ojan, dan Kasla bersamaan.

"Tadi,,," Satrio masih menggantungkan ucapannya.

"Tadi apa anjir?! Gue nungguin ini!" Raditya sudah tidak tahan lagi.

"Gue apa lagi Dit, gue tuh kepo banget. Cuman gue mau stay cool aja kayak Sajak. Ya gak Jak?" Dengan bangganya Aji menyebutkan nama Sajak. Yang di banggakannya hanya diam tak menjawab.

"Mampus di diemin sama Sajak. Emang enak lo. HAHAHAHAHA." Tawa Ojan pecah mengisi ruang seisi kelas.

"Ojan! Lo ketawa keceng banget asli. Gue gak boong." Jujur Kasla pada Ojan.

"Yaaa maap Abang Kasla. Besok-besok Ojan kalo ketawa gak kenceng lagi. Tapi kenceng banget." Ujar Ojan dengan suara yang di buat-buat.

"Ojan, lo gak usah mancing-mancing gue Babik." Kasla menekan kata terakhirnya.

"Anjir lo semua bacot, diem napa diem." Ucap Satrio yang sudah tidak tahan lagih.

"Ngopi napa ngopi." Tambah Pa'i.

"Gak gue lanjut kalo gitu." Ancam Satrio.

"YAA MAKANYA GAK USAH LO GANTUNG-GANTUNG ITU OMONGAN LO! CUKUP HATI LEZANA YANG LO GANTUNG! KITA JANGAN SAT!" Pa'i mendramatis.

"Jemuran, oh jemuran. Betapa kasihannya engkau selalu di gantung. Tanpa kepastian. Tanpa perkataan yang meyakinkan. Hanya harapan yang di janjikan. Namun tak kunjung datang." Ujar Aji dengan menggerakan kedua tangannya kesana dan kemari. Layaknya pembaca puisi sungguhan. Sangat mendramatis.

ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang