.

138 27 57
                                    

Julian Hoseok disebutnya, pukul 8 pagi waktu setempat pada waktu itu, he looks nice. Kemeja dan jas ala kantoran menebarkan pesona, aura dominasi dari matanya terlihat jelas, bibirnya mengucap konsisten, baik dari tuturannya, suaranya, dan cara berpikirnya. Dengar-dengar waktu itu, umurnya sudah menyentuh angka 31, tapi katanya waktu itu, gandengannya belum terlihat. Aku mengubris bagai angin lalu, tetapi turut bertanya rasa kuriositas saat Amanda menggosip, dan berbagi pandang dengannya. Ganteng kok, semua jatuh cinta pada pandangan pertama pada si kepala divisi media kreatif.

Bulan lalu aku beradu tatap dengannya, mutlak satu menit dengar dia bicara, aku ingat menyodorkan ponselku yang di atas meja agar dekat dengannya yang duduk di seberang kursi. Alisnya sempat bertautan melihat pergerakanku, aku tersenyum kikuk, "Recorder, Mas Jul, aku takut kewalahan kalau nyatet."

"Oh," ucapnya tersadarkan, tidak lama kemudian langsung melanjutkan. "Gitu Mo, desainnya tetep seperti kemarin, tapi kurangin aja ya beberapa gambarnya itu, mumet saya liatnya."

"Oke Mas, nanti disampaikan sama temen-temen."

"Kamu udah bikin schedulenya?"

"Udah sih, karena kita pakai sistem frekuensi ya Mas, jadi nanti minta anak-anak bawah buat hubungin media." tanggapku yang dibalas kembali dengan anggukan pasti olehnya, lantas setelah 30 detik berjalan, aku mengambil cue untuk berdiri kursi. "Makasih ya, Mas Jul, balik dulu nih."

Kagetnya, dibalas seperti ini sama dia; "Kamu udah makan, Mo?" aku tertegun beberapa saat, refleks sih, cuma kan Mas Jul itu atasanku, kalau ditanya sudah makan atau belum, ya ... lumayan kaget. "Kamu ke tahan sama saya, jadi gak enak, mau makan sama saya bentar?"

Segenap hati berkata untuk kabur sebenarnya, kenapa ya, karena aku merasa canggung saja dengan kehadiran seorang Julian Hoseok di meja makan yang sama. Makan malam waktu itu, dia lebih pilih makan pecel ayam daripada pecel lelenya dan cuma makan daun kemanginya saja untuk lalapan. Juga berkat ajakannya aku jadi sedikit mengkonfirmasi kalau benar adanya lelaki itu suka mengajak rekannya makan malam bersama.

Waktu itu juga terasa datar dan semu, Julian ya Julian, Moira ya aku, tatapan formal masih melekat pada diri masing-masing, sama ketika rapat, ketika makan bersama dengan satu tim, ketika ke pesta kantor untuk selebrasi CEO baru, ketika tidak sengaja kami berdampingan untuk mencicip anggur, ketika waktu itu, baru tahu kalau Julian Hoseok punya toleransi alkohol yang rendah. Wajahnya memerah di gelas kedua punyanya, kepalanya menggantung rendah saat aku penasaran untuk mengintip dari bawah.

"Mas, baik?"

"Mo," dia terkekeh. "Saya payah."

Aku balas dengan cengiran garingku. "Gak papa, Mas, wajar mabok sedikit, asal gak nyetir aja."

"Bener."

Aku tersenyum tipis. "Gak biasa minum, ya, Mas?"

"Sering kok, tapi gitu," akunya, mengusap tengkuk lehernya canggung. "Moira, udah makan belum?"

Kebiasaan, pikirku, tapi kenapa Julian selalu tanya itu terus-terusan, ya? Apa hubungan kita yang terlalu kaku sampai dia bingung topik? Padahal, bisa loh, dia bahas soal perkembangan desain kemarin, atau engagement sosial media, atau chart audiensi yang terpapar dari hasil publikasi minggu ini.

you brought me the pieces again and im scaredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang