- One -

663 34 30
                                    

Aku berlari kencang menembus pekatnya malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berlari kencang menembus pekatnya malam. Burung-burung hantu terdengar mengukuk di sepanjang hutan yang sedang kulewati. Udara terasa dingin dan berkabut. Sesekali kepalaku menoleh ke belakang, memastikan orang yang mengejarku tidak akan menemukanku.

Sedikit lagi ... sedikit lagi ... aku berusaha menyemangati diri di tengah gemuruh jantung dan napasku yang tersengal.

Sedikit lagi ....

Aku melompati dahan besar yang merintangi jalan, lalu berbelok mengikuti jalan setapak kecil yang menuntunku ke jalan besar di depan sana. Aku mendesah lega. Akhirnya berhasil keluar dari hutan belantara lebat ini.

Penyihir.

Mungkin kata itu tidak asing lagi di telinga banyak orang. Ya, aku memang seorang penyihir. Ibu dan Daisy—kakak perempuanku—merahasiakan kemampuan aneh kami dari siapapun. Termasuk dari penyihir hitam yang sekarang sedang memburu kami.

Selama ini kami sudah berupaya bersembunyi dari mereka. Hidup selayaknya manusia inepto (sebutan manusia tidak bisa sihir) tanpa sihir atau kekuatan magis apapun. Ibuku dan Daisy tidak punya kemampuan sihir sehebatku. Mereka hanya punya kekuatan sihir terbatas. Maksudku, mereka bukan penyihir yang kuat sepertiku. Dan sialnya, aku melakukan kesalahan dengan kekuatan sihirku tersebut, sehingga kejadian naas harus menimpa kami.

Kudongakkan kepala menatap ke langit malam tanpa bintang di atasku. Bulan purnama keperakan menggantung rendah di sana sementara gerimis yang turun bertambah lebat.

Aku lelah, jujur saja. Setelah berjam-jam berlari menerobos hutan belantara lebat tanpa istirahat sekalipun, tenagaku nyaris terkuras habis. Kendati sebenarnya aku memang sudah tidak punya semangat untuk melarikan diri lagi.

Kututup kepalaku dengan tudung jaket, menyembunyikan rambut hitamku yang dikuncir asal-asalan dan basah terkena hujan. Lalu, meneruskan langkah dengan cepat. Gemerisik pepohonan membuatku merinding. Sesekali kugenggam liontin batu emerald biru yang melingkari leherku. Pikiranku berputar teringat kembali peristiwa naas yang terjadi beberapa jam lalu.

Kala itu kami bertiga tengah makan malam di dapur rumah kami yang sempit dan sederhana. Sesekali kami tertawa ketika kakakku, Daisy membuat lelucon murahan yang bagi kami sangat lucu. Daisy memang tipikal suka bercanda dan menyenangkan. Sedangkan aku lebih tertutup, cenderung pendiam. Aku hanya terbuka pada orang-orang yang kuanggap sudah sangat dekat.

Tanpa kami sadari, ada seorang pencuri yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam rumah dan mengancam akan membunuh kami semua jika ibuku tidak menyerahkan benda-benda berharga milik kami padanya.

Aku benar-benar ketakutan saat itu. Jadi berinisiatif menolong ibuku dari ancaman pisau yang dilakukan si pencuri. Dalam keadaan terdesak, aku tak sengaja membuat pencuri itu membeku.

Setelah kejadian tersebut, seorang penyihir hitam tak lama muncul di tengah ruangan. Ibu cepat-cepat menyuruh kami untuk segera pergi menyelamatkan diri. Ia berpesan padaku untuk menyimpan dengan hati-hati kalung liontin yang diberikannya saat ulang tahunku yang ke-17 kemarin.

Runaway (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang