KULTUM PERTAMA

59 24 6
                                    

APA yang kamu rasakan ketika masih menjadi murid baru disekolah kemudian disuruh untuk tampil di depan anak satu sekolahan?
Kaget? Grogi? Greget? Tak pernah terbayangkan? Takut salah bicara? Takut diketawakan? Takut di ghibahin? (dighibahin ya pasti).

Kalau aku saat itu tidak semua pada yang di atas. Yang aku bayangkan hanya satu yaitu: Wahh, parah banyak banget orangnya, bisa-bisa tenar nih aku! Kalau tenar banyak yang suka nih sama aku. Wah gawat darurat!

Enggak, cuma becanda kok.
Ya pastilah grogi! Meskipun pede ku kalau sudah tampil di depan umum meningkat sampai tiga ratus enam puluh derajat, tetap saja yang namanya grogi pasti ada. Takut kalau asal atau salah bicara, mereka-mereka tidak akan suka, bahkan guru akan merasa ilfil. Maklumlah, anak disekolahku kalo ada yang salah sedikit mulutnya nyerocos terus, kayak dia yang udah bener aja, kayak hidupnya yang udah sempurna aja!

Saat itu, saat pertama kali memegang mic berwarna hitam itu. Tanganku gemetaran. Aku sudah coba berkomat-kamit membaca ayat apa saja yang kuingat saat itu. Eh, tapi kali itu aku ingat kalau aku baca surat Yasin. Mampuss! Aku tidak tahu kenapa bisa surat Yasin yang kubaca, tapi aku juga tak heran karena semalam aku memang sedang menghapal surat Yasin. Awalnya saja sudah gagal seperti itu. Bagaimana sampai endingnya?

Lalu, kuraih mic dengan mantap menuju panggung kecil di depan dan menghirup napas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Tak lupa pastinya kubaca Bismillah (biar kek anak baik aku bawaannya).

Tapi ternyata hal itu tak menghilangkan gemetar ditanganku. Meski demikian aku tetap melanjutkan pidatoku, yang sebenarnya aku bosan melafalkannya semalam sampai tertidur (Gak mungkin juga aku berhenti ditengah pidato, yang bener aja!).

Setelah aku menyelesaikan pidato yang kurang lebih 10 menit tersebut, aku menuruni panggung dan langsung menuju ruang wakil kesiswaan. Meski tepuk tangan dan sorak gemuruh masih terdengar (maklum, dengan embel-embel anak baru tampil acara. Ya duaarr lah!).

Tahu apa yang aku lakukan disana?
Mengumpulkan semua kekuatanku untuk bisa bernapas. Aku menahan dadaku yang debarannya hampir sudah mulai membatasi normal. Karena saat aku menyelesaikan bait pidato paling akhir, kepalaku mendingin dan debaran jantungku sedikit cepat. Badanku memanas, seolah aku sedang demam. Aku tidak tahu kenapa, mungkin itu yang dinamakan nerveous?

Setelah sepatah kata dari guru selesai, acara selanjutnya adalah penampilan qasidah rebana. Aku yang kemarin hanya jadwal disuruh pidato saja, ya aku tak ikut pusing mikirin. Tapi eh tapi! Sepertinya kakak-kakak OSIS itu belum puas dengan penderitaanku saat tampil tadi. Mereka malah menyuruhku untuk ikut qasidahan juga, dengan alasan tidak cukup orang. Jelas saja aku kesal!

Tapi toh yang namanya junior, gak boleh membangkang sama senior (sepertinya posisi senioritas dimanfaatkan oleh mereka!). Mentang-mentang senior, nyuruh junior seenak jidatnya:v
Yah, aku cuma mengumpat dalam hati saja! Cukup ku pendam, meski terasa sakit, melihat kau dengannya:v Enggak nyambung!

Akhirnya aku ikut juga. Ikut serta dalam qasidah rebana itu, yang seingatku saat itu aku melakukannya dengan bersungut-sungut. Tapi untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan semua orang, aku memaksakan senyum dengan sepat.
Maklum aku gak pandai senyum. Senyumku jelek:v

Aku masuk barisan paling belakang. Alhasil, saat tampil aku berdiri paling ujung. Berseberangan pula dengan orang di ujung sana, sejajar di hadapanku. Dari awal sampai akhir penampilan dia senyam-senyum ke arahku. Tentu aku merasa aneh dan juga geli.

Saat itu aku kira, mungkin otaknya kurang waras. Padahal toh aku tak pernah mengajak atau pun senyum ke arah dia. Eh dia saja yang seperti malu-malu kucing ke arahku. Karena dia terus senyum seperti itu membuatku berpikir hal yang tidak-tidak tentangnya.

Hello, Abang seberang yang lagi senyum ke aku. Gak usah sok malu kucingan deh ya, aku gak suka senyum kamu. Asem soalnya! Lagian kamu gak enak kalo senyum kaya gitu..

Semakin lama dia senyum-senyum, membuatku membatin juga. Ya, kalian pasti tau apa yang terjadi padaku saat itu. Aku ikut senyum padanya. Entah apa yang merasukiku saat itu? Entah itu bentuk dari rasa heran atau rasa baper? Ah, luluh juga hati yang rapuh ini!

Makanya, cewek tuh jangan disenyumin terus. Nanti meleleh, kayak ice cream!
Kayak gak tau tabiat cewek aja yang mudah kebawa perasaan!

Setelah penampilan qasidah selesai, segera ku dekati salah seorang kakak kelasku, aku tidak ingat siapa yang aku dekati saat itu. Hanya untuk menanyakan siapakah gerangan Abang yang senyum-senyum ke arah ku tadi.

"Kenapa memang?" tanya kakak yang aku lupakan nama bahkan wajahnya itu (memang aku lupa bertanya pada siapa saat itu). "Kamu naksir?" lanjutnya yang membuatku tersentak.

"Bukan kak, nanya doang. Biar lebih kenal gitu sama kakak yang lainnya." jawabku Cengingisan agar kedok tidak kebongkar. Enak saja aku dibilang naksir. Dia kali yang naksir sama aku. Buktinya dia senyum-senyum ke aku, maksudnya apa coba?

"Serius aku nanya kak.." omelku saat melihat kakak yang kutanya hanya tertawa geli. Padahal gak ada yang lucu.

"Namanya Bayu. Bayu Putra Demima" jawab kakak itu akhirnya dan membuatku lega.

Ooh, si Bayu toh namanya Abang yang tadi. Yang senyum-senyum kek orang gak waras. Terus akunya rapuh, agak baper dikit tadi disenyumin (padahal buat apa sih baper, kan senyum itu ibadah?). Be positive thinking, okay?

Selepas itu, aku melihat abang yang bernama Bayu tadi berjalan ke arahku dan duduk di sampingku.
Ah, basi pasti sok-sok an mau basa-basi yang ujungnya tau sendiri kan?

"Kamu tadi tampil bagus banget loh!" ucap bang Bayu membuka percakapan denganku.

"Ah, iya bang?" Tanyaku pura-pura enggak percaya aja biar yang boong seneng, ye kan?

"Iya, semua orang gak percaya aja gitu" balas bang Bayu. Aku jelasin, maksud bang Bayu mungkin, karena aku anak baru bisa tampil kayak gitu (aku gak heran sih sebenarnya). Mereka hiperbola lah menurutku. Aku gak suka dipuji. Cukup di support aja. Harap perhatian aku sedang tidak menyombongkan diri! Dikit tapi. Hehe

"Makasih bang.." cuma kata itu yang bisa ku lemparkan pada bang Bayu, yang seolah-olah tengah mencari topik pembicaraan denganku (padahal si topik lagi dirumahnya). Ye, gak nanya tuh!

Agak canggung sebenarnya di situasi seperti itu. Aku tidak suka sebenarnya deket-deket duduk sama non jenis. Agak risih gitu kalau di deketin (takut baper adalah alasan utama).

Kayak yang enggak paham aja hati ini rapuhnya minta ampun. Udah capek-capek ngejagain biar gak loncat nih hati. Eh, di patahin sama si senior kurang waras kaya bang Bayu (sebenernya dia waras, tapi karena perihal tadi, aku nyebutnya gak waras aja, biar lucuan dikit). Itung-itung buat orang seneng itu pahala:-)

Eh, tapi seharusnya kalian mikir dong. Kalau dia waras gak mungkin senyum-senyum kaya gitu, ya kan? Kenapa coba?

 Kalau dia waras gak mungkin senyum-senyum kaya gitu, ya kan? Kenapa coba?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thanks for reading,
Annisa Ratu Wulandari
(Author yang baru belajar nulis)


Please for vote if you like this story as for apreciated and thanks

Aku adalah si author yang baru belajar nulis. Baru belajar tata bahasa, dan baru belajar saja pokoknya. Dan ditunggu kritikan serta sarannya, i'll be waiting okay?

Please comment if you really love it, add on reading list and share don't forget❤️
So, thank you so much all.

Putih Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang