Sebagai sosok yang terkenal periang, supel, cantik dan bodygoals, hidupnya terlihat sempurna bagi banyak orang. Meski suka gossip—Oh, ayolah, hidup gak berasa tanpa gossip!—dia termasuk mahasiswa yang rajin.
Kapasitas waktu nongkrong dan belajarnya seimbang. Meski kadang suka mampir ke klub—hanya untuk refreshing—dia masih mengikuti kelas, kuis dan ujian dengan rajin. Sehingga IPKnya selalu aman di 3,5.
Ikut program seperti ini, terlihat tidak cocok dengan image yang selama ini dia miliki di hadapan teman- temannya. Bahkan saat ia pertama kali menyatakan keinginannya untuk mencoba daftar dalam program, teman – teman tongkrongannya secara terang – terangan berkata,"Lo yakin mau ikut program ginian? Dibanding buang tenaga, mending lo urusin kuliah ajalah. Belum tentu keterima juga."
"Sorry to say Joy, tapi lo yakin bisa?"
Singkatnya, teman – temannya sangsi dirinya akan lolos.
Siapa yang gak down denger ucapan kaya gitu dari orang – orang terdekat?
Padahal IPKnya tidak buruk, dia juga aktiv di ke-organisasian kampus, sering jadi panitia acara besar juga. Kenapa orang – orang gak percaya kalau dia bisa?
Tak hanya soal program ini sih. Sejak dulu, karena pembawaannya yang supel, suka nongkrong, gossip, dan terlihat glamour, orang – orang memiliki banyak prasangka padanya.
Mulai dari menjadi playgirl, gadis kota sombong dan manja, bahkan pelacur. Hanya karena kesenangannya menari di atas lantai dansa club malam. Padahal dia tidak suka mabuk – mabukan—meksi memang pernah—tapi dia tidak pernah macam – macam apalagi melakukan seks bebas! Dia masih perawan tahu!
Saat ia mencoba untuk serius belajar, menyatakan ingin masuk jurusan DKV waktu itu, bahkan berambisi dengan beberapa beasiswa, orang – orang selalu meremehkannya. Mereka bahkan meremehkan cita – citanya ingin menjadi professional designer grafis dan mendirikan perusahaan grafis sendiri.
Tak perlu pada teman, keluarganya sendiri saja sangsi begitu tahu Joy memilih jurusan DKV. Seolah Joy adalah gadis bodoh yang hanya mengandalkan tampang dan tubuh saja.
Untuk itu, termakan oleh omongan sekitarnya, Joy memutuskan untuk menarik document pendaftaran yang sudah ia serahkan. Sehari sebelum test tulis dilaksanakan, Joy pergi ke rektorat.
Ia menunggu cukup lama di depan ruang sekretaris rektor, memeluk buku pengantar mata kuliahnya dalam dekapan. Berdiri bersender menghadap pintu di ruangan sana.
"Siapa sih di dalem? Lama banget," dengusnya kesal. Sudah 15 menit lebih dia menunggu. Pegal tahu berdiri terus dari tadi. Tak ada satu pun tempat duduk di depan ruangan itu.
"Mau ketemu sekretaris rektor?"
Wajah Joy yang tengah ditekuk menoleh kecil, lalu mendapati tubuh jangkung lain tengah bersandar pada tembok di sisinya. Joy refleks menegakan tubuh.
"Iya," balasnya singkat.
Dilihat sekilas, lelaki jangkung itu cukup tampan dengan kulit kecoklatannya. Hmm, bisa lah masuk tipe idealnya. Kok Joy gak pernah liat ya lelaki tampan ini di kampus? Gak mungkin wajah kaya gini gak terkenal dan gak masuk radarnya.
"Sorry kalo gue lancang. Lo Joyvanda bukan, sih?" Tanya lelaki itu. Joy kembali menoleh.
Ternyata lelaki itu mengenalnya.
Iya sih, Joy kan cukup terkenal di kampus sebagai primadona.
Joy mengangguk, "Iya, kenapa?"
"Gue pernah ikut seminar di kampus lo beberapa bulan lalu. Pas lo jadi moderatornya, tentang Feminisme dan Patriarki."
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTIGABELAS | 47 Days With Them✔ [OPEN PO check IG allyoori]
General Fiction[B E R T I G A B E L A S] ▪︎selesai▪︎ • College but not about collegelife in campus • Semi-baku • Lokal AU 13 orang terpilih dari dua perguruan tinggi berbeda, untuk hidup bersama selama 47 hari kedepan dalam sebuah rumah yang terletak di dusun terp...