BAGIAN 1

417 14 0
                                    

Malam semakin gelap. Di langit, awan hitam masih bergulung-gulung. Suara unggas malam sudah tidak terdengar lagi. Seakan-akan semuanya bersembunyi di sarang masing-masing. Rintik hujan masih turun satu persatu. Dan di beberapa tempat air masih terlihat menggenang. Memang hujan deras baru saja berhenti mengguyur bumi. Sehingga, yang tinggal hanya tanah tanah basah di sana-sini. Dan keadaan yang tak menyenangkan ini tak menghalangi dua orang penunggang kuda yang terus menggebah kudanya, menerobos pinggiran hutan yang banyak ditumbuhi semak-semak kecil.
Bila diperhatikan, akan terlihat kalau kedua laki-laki penunggang kuda itu berbeda usia. Yang seorang berkumis tebal melintang. Tubuhnya sedikit kurus, kira-kira berusia sekitar tiga puluh tahun. Sementara berada di sampingnya adalah seorang pemuda gagah berusia sekitar sembilan belas tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Rambutnya yang panjang sebahu diikat kain kuning. Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala ular.
"Apakah tidak sebaiknya kita beristirahat dulu, Den Wijaya? Perjalanan masih Jauh. Dan mungkin Raden telah letih...," usul laki-laki berkumis melintang ini.
Pemuda di samping laki-laki itu menoleh sekilas. Kemudian bibirnya mengulas senyum.
"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka, Paman Sembada!" sergah pemuda yang dipanggil Wijaya.
"Tidak akan lari gunung dikejar, Den Wijaya...," elak laki-laki yang dipanggil Sembada tersenyum.
"Sudah sepuluh tahun, Paman! Selama itu, aku hanya dua kali bertemu mereka. Bisakah Paman membayangkan betapa rinduku pada mereka?" tandas Raden Wijaya.
"Ya... Telah sepuluh tahun Raden berada di Padepokan Wering Surya. Dan Paman bisa merasakan, betapa Raden merindukan kedua orang tua...,'' gumam Paman Sembada.
"Mereka baik-baik saja, Paman...?"
"Mereka baik-baik saja, Raden. Hanya ibumu yang agaknya sering melamun karena memikirkanmu...."
"Ah... Kasihan ibu. Selama ini, beliau amat menyayangiku. Apalagi aku anak satu-satunya. Seandainya aku punya adik, beliau tentu tidak akan begitu memperhatikan diriku seperti sekarang...," desah Raden Wijaya.
"Kenapa Raden berkata begitu? Menurut Paman, beliau akan tetap menyayangimu meski Raden mempunyai adik banyak," tanya Paman Sembada.
Raden Wijaya tersenyum. "Bukan begitu maksudku, Paman...."
"Lalu?"
"Ibunda terlalu memperhatikan diriku. Bahkan sangat berlebihan. Sehingga apabila aku tidak berada di dekatnya, beliau selalu risau dan takut kehilanganku. Bila aku mempunyai adik, tentu ada penghiburnya."
"Tapi saat ini beliau pun telah mempunyai seseorang yang sering menghiburnya...," sahut Paman Sembada, tersenyum penuh arti.
"Maksud, Paman? Ayahanda-kah...?"
"Salah satunya."
"Lalu yang lainnya?"
"Bukan yang lainnya, Raden. Tapi seorang lagi"
"Paman.... Aku semakin tidak mengerti...," desah pemuda itu dengan kening berkerut dan wajah bingung.
"Ingatkah Raden pada Andini, putri Ki Bangun Satya...?" Paman Sembada malah bertanya.
"Hm... Siapa yang bisa melupakannya?" sahut Raden Wijaya, seraya tersenyum karena mulai mengerti ke mana tujuan pembicaraan pamannya. "Dialah orang yang Paman maksudkan?"
Paman Sembada mengangguk.
"Dia sering mengunjungi ibundamu...."
"Sudah besarkah dia sekarang, Paman...?"
"Bahkan telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik, Raden! Budi pekertinya juga baik. Tutur katanya pun selalu halus dan lembut."
"Hm...," gumam Raden Wijaya pelan.
"Dia sering menanyakan keadaanmu, Den...," tambah Paman Sembada.
"Jangan menggodaku, Paman. Andini memang kawan bermainku sejak kecil. Namun, dia amat pemalu dan jarang bercakap-cakap denganku...," kata pemuda itu tersenyum malu.
"Paman tidak menggodamu. Dia memang sering menanyakan keadaanmu. Apakah kau betah atau kesepian...? Dia pun sering mengkhawatirkanmu...," jelas Paman Sembada, semakin membuat pipi pemuda itu memerah.
"Paman terlalu mengada-ada. Siapa yang mengkhawatirkanku? Aku berada di padepokan. Dan di situ, kawan-kawanku banyak. Malah Ki Sabda Sanjaya bukan orang sembarangan. Siapa yang hendak menyakitiku? bela Raden Wijaya berusaha menutupi perasaannya.
"Andini agaknya bukan mengkhawatirkan keselamatanmu, Den?"
"Lalu?"
"Dia mengkhawatirkan, kalau Raden akan kepincut gadis lain," goda Paman Sembada, sambil tersenyum lebar.
"Paman bisa saja...!" Raden Wijaya tersipu malu ketika sadar kalau Paman Sembada hanya menggodanya.
"Dia amat setia padamu, Den...," lanjut laki-laki itu.
"Apakah menurut Paman aku tidak setia?"
"Hm.... Kalian telah dijodohkan sejak kecil. Lalu sebagai kawan bermain ketika bocah. Kemudian berpisah agak lama ketika Raden harus berguru di Padepokan Wering Surya. Paman kira, setelah Raden menjadi seorang pemuda dan banyak bergaul, pasti akan melirik gadis-gadis cantik lainnya. Dan akan melupakan Andini..."
Raden Wijaya tersenyum. "Andini baik, Paman. Dia berasal dari keluarga yang baik pula. Ibunda selalu menasihati agar aku mencari calon istri yang memiliki sifat terpuji. Sebab hal ini akan melanggengkan kehidupan berumah tangga kelak...," kata Raden Wjaya.
"Ibundamu seorang yang bijak, Den. Apa yang beliau katakan, memang benar."
"Terima kasih, Paman. Hm... Tanpa sadar kita telah memperlambat perjalanan. Ayo, Paman! Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka. Heaaa! Heaaa...!" Raden Wijaya segera menggebah kudanya.
"Heaaa ..!" Paman Sembada mengikuti perbuatan majikannya.
Baru saja mereka menggebah kudanya, mendadak...
"Hi hi hi...!"
"Heh?!"
"Apa itu, Paman...?" Raden Wijaya terkejut ketika tiba-tiba terdengar tawa nyaring yang menggema di sekitarnya. Serentak keduanya memperlambat laju kuda. Bahkan kemudian berhenti sama sekali, dan langsung memandang ke sekeliling.
Tidak terlihat apa-apa. Suasana masih gelap dan sepi. Sementara keadaan di sekitarnya kelihatan kering. Agaknya tadi di sini hujan tidak turun.
"Hati-hati, Den! Agaknya ada seseorang yang mengikuti perjalanan kita. Mendengar suara tawanya tadi, jelas dia bukan orang sembarangan. Kita masih belum tahu apa maksudnya!" Paman Sembada mengingatkan.
"Siapa pun yang tertawa tadi, keluarlah! Perlihatkan dirimu. Dan utarakan maksudmu mengikuti kami...!" teriak Raden Wijaya lantang.
"Hi hi hi...! Bocah tampan... Agaknya kau telah ditakdirkan berjodoh padaku!" Kembali terdengar tawa nyaring, kemudian disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih ke hadapan mereka. Bayangan putih itu semakin jelas terlihat, ketika perlahan-lahan melangkah mendekati mereka.
"Heh?!" Paman Sembada terkejut ketika melihat seorang gadis berwajah cantik berusia sekitar sembilan belas tahun. Rambutnya yang panjang keemasan, tergerai sampai ke punggung dan tertiup angin. Bajunya sutera putih yang amat tipis sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat menantang gairah kelelakian. Ada hal yang sedikit aneh, sekaligus menakutkan dari gadis itu. Sepasang matanya tajam seperti mata seekor kucing di kegelapan. Bahkan kulitnya amat putih, sehingga terlihat pucat bagai mayat.
"Nisanak! Siapakah kau?! Dan, apa maksudmu menghadang perjalanan kami...?" tanya Raden Wijaya yang tadi ikut terpesona memandang kecantikan gadis itu.
"Hi hi hi...! Bocah tampan.... Namaku Gendari. Dan terus terang, tujuanku mencegat kalian karena aku tertarik dengan ketampananmu!" sahut gadis itu tanpa basa-basi.
Raden Wijaya sebenarnya putra adipati yang menguasai Kadipaten Watu Pasir. Kehidupan mereka terbiasa oleh sikap sopan santun dengan menggunakan tutur kata yang halus. Apalagi bagi seorang wanita. Dan apa yang diucapkan gadis itu, sebenarnya hal yang tidak pantas. Sebab perkataan seperti itu hanya diucapkan oleh wanita jalang yang sering mengumbar hawa nafsunya.
"Gendari! Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu? Aku sama sekali belum mengenalmu. Jadi bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu?" tanya Raden Wijaya, masih dengan nada halus agar tidak menyinggung perasaan gadis itu.
"Hi hi hi...! Bocah bagus! Kau memang masih muda sekali dan tidak tahu banyak soal kehidupan. Tapi apakah perkataanku tadi sulit dimengerti? Aku menyukaimu dan ingin agar kau menemaniku di tempat sesunyi ini. Rasanya kau tidak perlu mengenalku!" sahut Gendari menegaskan.
Raden Wijaya menghela napas sesak. Sementara Paman Sembada sudah merasa jengah, bahkan merasa kesal atas sikap wanita itu. Sikapnya sama sekali tidak sopan. Demikian pula kata-katanya. Gerak-geriknya menunjukkan kalau wanita ini tidak ubahnya seperti pelacur. Atau barangkali memang dia wanita jalang? Kalau tidak, apa yang dilakukannya di tempat sesunyi ini?
"Hati-hati, Den. Wanita ini bukan orang baik-baik...," ujar Paman Sembada, mengingatkan.
"Monyet kurus! Tutup mulutmu! Kau kira aku tidak mendengar apa yang kau bisikan, heh?!" hardik gadis bernama Gendari, garang.
Paman Sembada yang mulai jengkel melihat sikap gadis itu, kini menjadi marah ketika mendengar bentakan tadi. "Perempuan jalang! Kaulah yang seharusnya tutup mulut! Sikapmu sama sekali tidak pantas!" dengus Paman Sembada.
Mendengar itu, Gendari tiba-tiba saja tersenyum. Kemudian dia tertawa nyaring sambil berkacak pinggang. "Hi hi hi...! Agaknya kau cemburu, he? Sayang sekali, saat ini majikanmu ada di sini. Kalau tidak, mungkin saja aku tertarik padamu! Tapi..., kau boleh menunggu giliran kalau suka," ujar Gendari sambil tertawa genit.
"Phuih! Wanita jalang tidak tahu diri! Kau kira siapa dirimu?!" dengus Paman Sembada tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Hi hi hi...! Kenapa mencak-mencak begitu? Kau ingin menerkam dan membunuhku? Ayo, lakukan!" sahut Gendari tenang-tenang saja.
"Keparat! Wanita sepertimu memang sebaiknya mampus!" Paman Sembada mencabut golok di pinggang dan langsung melompat menyerang gadis di hadapannya.
"Paman, jangan...!" Raden Wijaya berusaha menahan, namun laki-laki itu agaknya tidak mampu lagi menguasai diri. Dia sudah langsung turun dari punggung kuda, langsung menerjang Gendari.
"Haiiit!"
"Hm..." Gadis berbaju putih itu mendengus pelan. Sama sekali dia tidak berusaha menangkis atau menghindar dari serangan.
Raden Wijaya sendiri terkejut dan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu pasti celaka! Bahkan bukan tidak mungkin akan terbunuh di tanga Paman Sembada.
Namun begitu serangan hampir tiba di tubuhnya, Gendari cepat mengangkat tangannya. Tangan kiri gadis itu menepis pergelangan tangan Paman Sembada. Dan sambil menundukkan kepala menghindari tebasan golok, cepat sekali kaki kanannya menendang ke dada laki-laki bertubuh agak kurus itu.
Begkh!
"Aaa...!" Paman Sembada memekik tertahan. Tubuhnya kontan terlempar ke belakang pada jarak tiga tombak. Dan mulut, hidung, dan kedua telinganya menetes darah segar tanpa bergerak lagi, mungkin tewas!
"Paman?!" seru Raden Wijaya kaget. Buru-buru pemuda itu turun dari punggung kuda, kemudian memeriksa keadaan laki-laki itu.
"Kau..., kau telah membunuhnya...! Tindakanmu kejam sekali, Nisanak! Apa sebenarnya yang kau inginkan...?!" Pemuda itu berdiri tegak seraya memandang gadis itu dengan sorot mata kebencian.
"Hm... Sayang sekali, pemuda setampanmu ternyata sedikit tuli? Baiklah. Mungkin kau lupa atau memang tidak mendengar. Kuulangi sekali lagi, aku menginginkanmu. Dan kau tidak boleh menolak!" tegas Gendari seraya menggeleng dan mendesah pelan.
"Gadis hina! Kau dengar jawabanku! Kau tidak pantas berkata seperti itu. Dan aku sama sekali tidak suka caramu! Kau telah membunuh orang. Dan untuk itu, patut mendapat hukuman!" sentak Raden Wijaya lantang.
Sret!
Raden Wijaya bermaksud mencabut pedang, dan segera akan membalas kematian Paman Sembada. Baginya, gadis itu sudah sangat keterlaluan dan tak bisa dibiarkan begitu saja. Semua tindakannya seolah-olah dapat diperolehnya dengan mudah. Segala apa yang diinginkannya harus terpenuhi!
"Kau hendak melawanku, bocah bagus...?" Suara Gendari terdengar tajam dan lantang. Sehingga terasa menusuk gendang telinga pemuda itu. Raden Wijaya terkejut dan merasakan kelainan ketika melihat bola mata gadis itu bersinar tajam. Sehingga membuat pandangannya silau dan pikirannya melayang-layang.
"Kau.... kau..." Raden Wijaya berusaha melawan sekuat tenaga pengaruh ilmu gaib jahat yang dilakukan gadis itu terhadapnya. Namun makin dilawan, tenaganya terasa semakin melemah. Bahkan pikirannya semakin melayang entah ke mana.
"Hi hi hi...! Kau kira bisa menahan aji 'Sirna Sukma', he?!" desis Gendari tersenyum lebar.
Pedang dalam genggaman pemuda itu terjatuh. Dan tatapan matanya jadi kosong. Malah kegarangannya yang tadi meluap, kini tidak terlihat bekasnya barang secuil.
"Mendekatlah padaku, Bocah Bagus. Ayo, mendekatlah...!" desah gadis itu sambil melambaikan tangan.
Kini Raden Wijaya menurut saja, seperti kerbau dicucuk hidungnya. Begitu mendekat, Gendari segera merangkul pinggangnya. Kemudian dengan sekali lompat, mereka melesat ringan menembus kegelapan malam, melewati dahan-dahan pepohonan di sekitarnya. Sayup-sayup terdengar tawa gadis itu yang nyaring.
"Hi hi hi...!"

139. Pendekar Rajawali Sakti : Hantu Putih Mata ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang