BAGIAN 6

209 13 0
                                    

Rangga memang masih penasaran sekali atas hilangnya Hantu Putih Mata Elang secara aneh. Rasanya dia tidak berada jauh dari tempat ini. Dan pagi-pagi sekali, Pendekar Rajawali Sakti kembali menyusuri tempat itu.
"Hm.... Kalau saja ada suatu lorong rahasia di bawah tempat ini, mungkin berhubungan dengan sungai di sana...," gumam Rangga, menduga. Segera didekatinya sungai yang berada tidak jauh di depannya.
Sungai itu tampaknya dalam sekali. Sementara lebarnya sekitar lima belas tombak. Pemuda itu menduga, tinggi air sungai dari dasarnya sekitar setengah tombak. Karena sungai itu dipenuhi baru sebesar kerbau sejauh mata memandang.
"Hm... Dinding-dindingnya banyak terdapat rongga menyerupai goa. Salah satunya pasti jalan tembus menuju sarangnya...," gumam pemuda itu menduga.
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung Dewa Bayu. Lalu dia memperhatikan dari tepi dinding sungai itu.
"Bagaimana mungkin dia bisa menuruni tebing ini tanpa tergelincir dan masuk ke dalam lubang-lubang itu?" gumam Rangga tidak habis pikir.
Dinding sungai kelihatan curam sekali. Bahkan nyaris berdin tegak. Tidak ada tempat untuk bergantung atau berpijak. Kalaupun ada, hanya beberapa buah batu yang sedikit menonjol keluar. Itu pun tidak mungkin untuk tempat berpijak. Satu-satunya jalan hanya.... terbang! Terbang? Mungkinkah Hantu Putih Mata Elang mampu terbang? Dan yang lebih membuatnya kesal, mungkinkah salah satu dari lubang yang banyak terdapat di dinding sungai ini merupakan jalan menuju sarang gadis berkulit pucat itu? Belum sempat Rangga berpikir lebih jauh, mendadak...
"Hiya! Hiya...!"
"Hm!" Pendekar Rajawali Sakti berbalik, dan berdiri tegak menanti dua orang penunggang kuda yang menggebah tunggangan ke arahnya.
Kedua penunggang kuda itu segera berhenti di depan Pendekar Rajawali Sakti, kemudian memandangnya dengan sikap curiga. Salah seorang yang berkulit hitam dan berambut pendek agak kaku, segera melompat turun dari kudanya.
"Anak muda! Siapa kau?! Dan apa yang kau lakukan di sini?" tanya laki-laki berkulit hitam itu.
"Aku hanya seorang pengembara. Namaku Rangga. Kebetulan saja aku kemalaman, dan menginap di sekitar tempat ini," sahut Rangga jujur.
"Hm...." Kedua orang itu bergumam. Laki-laki berkulit hitam yang memegang sebatang tombak yang ujungnya berkeluk bagai batang keris, memandang kawannya yang bertubuh gemuk dan bermata sipit.
"Hm, Rangga...? Apakah kau yang berjuluk si Pendekar Rajawali Sakti?" lanjut laki-laki berkulit hitam yang seperti pernah mendengar nama itu.
"Hanya julukan kosong saja, Kisanak...," sahut Rangga merendah.
Namun kedua orang itu cepat merangkapkan kedua tangan ke dada. Bahkan yang seorang lagi segera melompat turun dari punggung kudanya. "Kisanak! Terimalah salam hormat kami. Namaku Linggawuni. Dan kawanku Buntaran," kata laki-laki berkulit hitam yang bernama Linggawuni.
Rangga membalas salam penghormatan mereka. "Linggawuni dan Buntaran... Senang sekali bisa berkenalan dengan kalian. Kemanakah tujuan kalian, sehingga kelihatan terburu-buru?"
"Hm.... Sebenarnya kami hendak ke barat, untuk mencari seseorang," sahut Linggawuni. "Dan kau, apakah yang kau lakukan di sini, Pendekar Rajawali Sakti? Sepertinya ada sesuatu yang hendak kau lakukan. Apakah hendak terjun ke sungai?"
Rangga tersenyum mendengar gurauan Linggawuni. "Aku tengah mencari seseorang...."
"Di dalam sungai ini?" tanya Linggawuni dengan senyum.
"Ya."
"Hm.... Tentu kau menginginkannya untuk sarapan, bukan?"
Rangga tersenyum. "Kalau saja dia bisa kumakan, tentu untuk sarapan. Aku tengah mencari seseorang yang membuatku kesal, Linggawuni. Mungkin kalian pun mengenalnya."
"Bolehkah kami tahu, siapa orang yang kau cari? Mungkin di tengah perjalanan nanti kami bertemu, sahingga bisa memberitahukan padanya untuk menemuimu."
"Orang itu bernama Hantu Putih Mata Elang," kata Rangga.
"Hantu Putih Mata Elang?!" Linggawuni dan Buntaran terkejut. Mereka saling berpandangan sekilas. Kemudian Linggawuni kembali berpaling pada pemuda itu.
"Rangga, betulkah kau mencari orang itu?"
"Kau tidak salah mendengar, Linggawuni."
"Hm, kalau begitu kita satu tujuan! Ketahuilah, Rangga. Kami merupakan utusan Kadipaten Watu Pasir. Adipati Dharma Karsa memberi perintah, agar kami mencari dan menghukum si Hantu Putih Mata Elang atas hilangnya putra beliau," jelas Linggawuni berterus-terang.
"Oh, begitukah? Hm.... Kenapa sang Adipati menduga kalau hilangnya putra beliau bersangkutan dengan si Hantu Putih Mata Elang? Apakah beliau mengetahuinya dengan pasti?"
"Tidak. Tapi Raden Wijaya tidak pernah kembali sejak kepulangannya dan padepokan tempatnya berguru selama ini. Dan sang Adipati menghubungkannya dengan sepak terjang si Hantu Putih Mata Elang yang amat kaji. Sehingga diduga Raden Wijaya hilang karena perbuatannya," sahut Linggawuni menjelaskan.
Rangga mengangguk. "Lalu, kalian menduga bahwa Hantu Putih Mata Elang menculik Raden Wijaya di tempat ini?" tanya Rangga lebih lanjut.
"Tepatnya di sekitar kawasan Hutan Lengkeng ini!"
"Kenapa kalian menduga seperti itu?"
"Banyak dari pemuda yang diculik dibawa ke daerah ini, dan menghilang tanpa bekas seperti ditelan bumi. Para pengejar kebingungan. Mereka berusaha mencari, namun tidak pernah bertemu."
"Lalu, apakah kalian punya cara untuk memancingnya keluar?"
"Bukan kami, tapi Ki Bangun Satya."
"Ki Bangun Satya? Siapakah dia?"
"Dia adalah kepala pasukan prajurit Kadipaten Watu Pasir. Bersama dengan dua kepala pasukan di dua kadipaten terdekat, dia telah mengepung hutan ini," jelas Linggawuni.
"Pantas...," kata Rangga dengan senyum dan anggukkan kecil.
"Pantas kenapa, Rangga...?"
"Kalian tidak datang berdua saja..."

139. Pendekar Rajawali Sakti : Hantu Putih Mata ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang