Manusia yang Tak (pernah) Asing

21 0 0
                                    

AlAr

Ketika kita terus bertemu maka disanalah perasaan terdalamku muncul.

1

"Ma, aku berangkat dulu."

Aku menyaut tasku dari kursi, setelah membantu membereskan sisa makan. Lantas bergegas mengambil sepeda yang tersandar di tembok. Dan mengayuhnya sekuat tenaga.

"Hati hati neng."

Aku mengangguk membalas sapaan mang Udin, supir papa, yang sedang mencuci mobil.

Aku semakin cepat mengayuh, ketika jarum panjang menunjuk angka 7 dan jarum pendek mendekati angka 15. Sebentar lagi aku akan terlambat.

Beruntung, sepedaku melintas pagar tepat waktu. Baru saja bel masuk berbunyi.

Setelah memarkirkan di parkiran sepeda, kakiku berjalan cepat menyusuri lorong per lorong yang menghubungkan setiap kelas. Kemudian menaiki anak per anak tangga, menuju lantai dua bangunan. Kali ini, aku melangkahi dua pijakan sekaligus, agar segera mencapai lantai dua. Jika guru sudah ada di kelas, aku akan dapat masalah.

Akhirnya, tibalah aku di depan kelasku, kelas 12 s 1. Namun kakiku urung melangkah masuk, saat suara familiar nan tegas berseru di dalam ruangan. Aku mencoba mengatur napasku, membenahi seragamku yang sudah tak beraturan dan terakhir membenarkan gendongan tasku yang tak nyaman.

Siap tak siapa, aku harus masuk. Semakin terlambat, akan semakin dapat masalah.

".... Kalian tambahkan a² dengan b² maka akan menemukan hasil dari x."

Aku berjalan mengendap endap. Guru yang terbilang masih muda itu tengah menghadap papan tulis. Tapi hanya masalah waktu saja, guru tegas itu akan mendapatiku datang terlambat.

"Sekarang.... Alena?"

Kaki terhenti seketika, keringat dingin membasahi tanganku. Tidak nyaman rasanya.

Aku memutar kakiku menghadap pak Aris. "Iya, pak," ucapku dengan wajah kelewat polos.

Pak Aris terlihat mengembuskan nafasnya, tangannya mulai di silangkan di depan dada. "Sini," titahnya datar namun menusuk.

"Tamat riwayatmu, al."

Aku menurut. Berdiri didepan kelas, menghadap semua teman temanku yang sebagian menahan tawanya, sebagian lagi menunjukan wajah menyebalkan. Yah, setidaknya tidak semuanya.

"Kamu telat lagi. Mau berapa banyak lagi kamu telat," pak Aris mulai sangsi. Nadanya tinggi nan dingin.

Aku memang sudah beberapa kali terlambat masuk di jam pelajarannya. Tapi tidak banyak, yeah hanya tiga atau lima kali. Tapi, itu masih terbilang sedikit, kan.

"Jangan diam saja!"

"A...nu, pa...k," aku mulai tergagap. Mencoba memikirkan alasan (lainnya).

"Alasan apa lagi.  Ban sepeda kamu bocor, nenek kamu jatuh dari wc, ada kucing berhenti di depan sepeda kamu, ibu kamu menyuruhmu kepasar atau alasan tak masuk akal satu lagi, buku kamu terbang ke atap?"

AlArTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang