Sabtu, pukul 12.30. Ketika wabah merebak.
Dering ponsel Johnny meraung-raung tatkala sepasang kelereng emasnya menangkap segerombolan orang berlarian tunggang-langgang tak berarah. Tertangkap pula oleh pandangannya, kawanan orang yang berlari terhuyung-huyung— dengan derap terseret. Wajah tergurat dan serat-serat otot membersil.
Mata membeliak: bola mata yang berubah dalam celah detik— sorot-sorotnya berterbangan, dilindungi oleh kelopak mata merah bertabir darah, dan semberebat bau anyir nan busuk yang merajalela.
Jasad-jasad menyeramkan seperti mayat yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.
Apakah ini mimpi? Apa ini yang mereka sebut kiamat?
"Sayang, cepat lari." Terbata Johnny memberi perintah pada seorang gadis yang sudah ia tunggu kedatangannya sejak 1,5 jam yang lalu.
Suara-suara teriakan membungkam mulutnya. Membisukan ponsel yang meringking suara kekasihnya. Napas Johnny terhela satu-satu. Kakinya membeku.
Dari tatapan jerinya, membias wajah kekasihnya. Rambut panjangnya riap-riap menyelubungi muka. Tapaknya melangkah ragu; seperti linglung. Tubuhnya bagai daun yang baru saja pulang ke dekapan air sungai. Lantas terbawa arus manusia beserta jerit dan teriakannya.
Tubuhnya bersenggolan dengan banyaknya manusia yang berlarian seolah malaikat maut telah serentak datang mencabut nyawa mereka tanpa belas kasihan.
Bandara hari ini bukan bandara tempat tangisnya pecah karena rindu pada sang kekasih telah tuntas. Melainkan pecah karena kematian sedang melambai di pelupuk mata.
Dengan napas tersengal dan tubuh berguncang, Johnny mencoba membobos kerumunan. Kepalannya meninju sekiranya yang bukan manusia. Memborbardir bak rentetan meriam. Mencoba menyeruakkan raga kekasihnya yang sudah lama tak ia rengkuh dan jumpa. Kini wajah kekasihnya telah lusuh, dengan resah yang bersemayam di relung-relung masing-masing.
"Nggak ada waktu buat basa-basi." Johnny memeluk erat pergelangan tangan kekasihnya. Membawanya lari tanpa tujuan pasti. Napas yang tak berirama. Makhluk itu terlahir kembali tak berjiwa. Gerimis turun dengan derasnya di mata kekasihnya, yang ia biarkan membasuh begitu saja.
Dalam pelarian, mereka berjumpa dengan puluhan bahkan ratusan mayat hidup. Nyawa mereka di ujung tanduk. Mati karena menjadi seperti mereka atau mati karena alasan berbeda.
Wabah apa yang sedang menyerang? Siapa mereka? Sosok-sosok gila darah ini berasal dari mana? Zombie dan segala jenisnya, apakah mungkin nyata?
Tak ada waktu lagi untuk menggelontorkan kata-kata. Membiarkan seluruh kalimat berjejalan di ujung bibir saja. Tubuh berkejaran, napas tak mungkin beraturan. Tak ada jeda untuk pelarian mereka.
Yang Johnny dan gadis digenggamannya lakukan hanya berlari hingga ke ujung nadir. Ke tempat di mana ia bisa memeluk tubuh ringkih kekasihnya— tanpa erangan makhluk haus darah yang mengejar beringas— yang masih ia raba di mana letak istana itu.
"Sayang, aku capek banget." Napas gadis itu tercekik-cekik. Tenggorokannya gersang. Butiran-butiran keringat telah membilas wajahnya, bercampur dengan air mata yang membuat gadis dalam rengkuhan tangannya semakin kacau-balau.
Johnny berhenti. Napasnya sama tersengalnya. Matanya menatap waspada. Selalu siaga jika monster itu datang menerkam mereka. Satu hal yang ditakutkan Johnny ialah kekasihnya mati dalam wujud bukan manusia. Ia tak ingin kekasihnya menjadi santapan zombie penuh dahaga. Ia akan merutuki dirinya sendiri bila itu terjadi.
Kedua tangannya mencengkeram bahu gadis di depannya. Memangsa batas yang ada. Dahi mereka saling melekat. Napas mereka saling ringkus satu sama lain.
"Dengerin aku. Kamu masih ingin hidup, kan?" tanya Johnny dengan suara parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Jiwa Sunyi
HorrorSaat wabah menyerang. Erangan bagai koloni ngengat yang berhamburan dan melayang-layang membungkus bumi. Jasad-jasad kosong, hilang akal, haus darah datang membanjiri. Jiwa-jiwa sunyi sekarat dan mati. Rusak hancur lebur segalanya tak terkecuali. Ka...