4. insiden Pagi

117 93 108
                                    

Pagi yang cerah terasa kontras dengan perasaan Stella yang masih berantakan. Setelah kejadian tadi malam, ia merasa segalanya sedikit berubah, meski ia sendiri belum bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi.

Walaupun begitu Stella tetap melaju dengan motornya menuju kampus. Jalanan cukup ramai, dengan pikiran yang masih berputar-putar tentang kejadian tadi malam, tapi Stella berusaha fokus pada jalan di depannya. Namun, nasib kurang baik menghampiri.

Saat ia melewati tikungan tajam, sebuah mobil di depannya tiba-tiba berhenti mendadak. Tidak ada waktu untuk bereaksi, Stella kehilangan kendali dan terjatuh ke aspal.

Stella merasakan perih di lutut dan sikunya yang terbentur keras. "Aduh, apes banget sih pagi-pagi udah begini," gumamnya sambil berusaha bangkit.

Stella meringis saat merasakan lutut dan sikunya membentur jalan. Sebelum ia sempat bangkit, beberapa orang di sekitarnya sudah berlari mendekat untuk membantunya.

"Mbak, nggak apa-apa?" tanya seorang pria yang membantu Stella berdiri.

"Gapapa, gapapa, cuma jatuh kecil," jawab Stella cepat, berusaha menenangkan mereka meskipun lututnya terasa sangat nyeri.

Orang-orang di sekitarnya masih berkerumun, memastikan Stella baik-baik saja, meskipun ia terus meyakinkan mereka bahwa dirinya tidak apa-apa.

Di tengah kerumunan itu, sebuah mobil berhenti tak jauh dari mereka. Bima keluar dari mobilnya, tertarik dengan keramaian yang terjadi. Ketika matanya akhirnya melihat siapa yang menjadi pusat perhatian, wajahnya berubah.

"Stella?" Bima berjalan cepat menghampiri, ekspresinya berubah dari penasaran menjadi terkejut.

Stella yang sedang berusaha menenangkan orang-orang di sekitarnya, mendengar suara yang tidak asing itu dan langsung merasa jantungnya terhenti. "Ya Tuhan, kenapa dia harus di sini," pikirnya, menahan diri agar tidak menunjukkan betapa malunya ia.

Bima berhenti tepat di depan Stella, tatapannya penuh keterkejutan dan kekhawatiran, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia mengabaikan kerumunan orang di sekitarnya, fokus hanya pada Stella. "Kamu... kenapa bisa jatuh?" tanyanya singkat, suaranya terdengar kaku namun sarat dengan kecemasan.

Stella merasa lidahnya kelu mendengar pertanyaan Bima. Di dalam hati, ia berteriak, "Ya karena mikirin lo lah," tapi tentu saja itu hanya tersimpan dalam benaknya. Menyadari bahwa Bima masih menunggu jawaban, Stella menarik napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Nggak papa. Cuma lagi apes aja."

Bima memindai tubuh Stella dari atas ke bawah, matanya tertuju pada celana jeans biru dongker Stella yang sedikit sobek dan memperlihatkan luka memar di lutnya. "Kamu terluka," ucapnya dengan nada yang lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan

Stella merasa makin kecil di hadapan tatapan Bima yang seperti itu. "Serius, saya baik-baik saja," tambahnya dengan nada ceria yang dipaksakan.

Bima tetap diam, kemudian ia melirik ke arah motor Stella yang sedikit rusak. Ia menoleh kembali ke Stella, sorot matanya semakin tajam. "Naik mobil," ucapnya pendek, sambil melirik ke arah mobilnya.

Stella merasa terpojok, tidak ada jalan keluar dari situasi ini. "Eh, nggak papa. Saya masih bisa bawa kok," katanya, mencoba menyalakan motor dengan tangan gemetar. Namun, begitu ia mencoba menaiki motor, rasa sakit di lututnya membuatnya meringis dan terhuyung sedikit.

Bima tidak menjawab, hanya menatapnya dengan pandangan yang tidak menerima penolakan. Tanpa banyak bicara, ia memegang lengan Stella dengan lembut namun tegas, membantunya berjalan ke mobil.

Stella merasa makin bingung dengan sikap Bima. "Serius saya nggak apa-apa," katanya, mencoba menolak secara halus. Tapi Bima tetap diam, matanya terus memperlihatkan kekhawatiran yang tak ia ungkapkan dengan kata-kata.

Taste Of MacaroniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang