seven.

882 119 3
                                    

Seminggu lebih menetap di salah satu dari banyak kota kecil di negara monarki ini. Hari kedua memasuki tahun baru. Sial. Tiba-tiba hujan. Bayangkan, salju masih bertumpuk, ditambah lagi hujan deras. Untungnya, payung si pria bertubuh jangkung ini sangat berdedikasi pada tugasnya melindungi tuannya serta kantung belanjaan yang sedang ditenteng.

Kata temannya, si penyandang marga Hong, hujan selalu membawa memori-memori lama, entah memori bahagia maupun sedih. Seungcheol tidak pernah percaya itu karena belum pernah sekalipun ia teringat akan masa lalu saat tempatnya berada sedang dimandikan air hujan.

Namun, hari ini, sore ini, tepat pukul 4 lewat 15 menit. Ia akhirnya mengalami. Sendirian menyusuri jalan setapak, ditemani pakaian tebal dan payung yang dengan setia melaksanakan tugas, ia memutar percakapan tadi. Berkali-kali, layaknya cd rusak.

"Latte decafnya, Kak." Seorang barista menghampiri, meletakkan pesanan si pelanggan yang sedang sibuk bertatapan dengan ponselnya.

"Apa kalian memperlakukanku spesial karena kita pernah bekerja sama?" Si pelanggan bertanya dengan nada jenaka setelah mengalihkan pandangnya dari ponselnya. Membuat si barista mengelak sopan ditemani tawa kecilnya. "Omong-omong, terima kasih."

Pelanggan yang kini menempati meja di tengah-tengah cafe kembali sibuk menekan tombol-tombol papan ketik ponselnya, berkomunikasi dengan klien barunya. Sementara si barista belum juga kembali ke balik konter, sepertinya ada kepentingan lain dengan pria berwajah tegas ini.

"Um." Gumamannya menarik perhatian si pelanggan. "Boleh saya berbicara dengan kakak sebentar?"

Aneh. Ia bahkan tidak mengenal barista yang satu ini. Namun, wajahnya mengindikasikan keseriusan. Maka, si pelanggan mempersilakan barista itu duduk di hadapannya. Ponselnya pun diletakkan di pinggir meja dengan layar menghadap ke bawah.

"Saya langsung ke topik saja, Kak," mulainya tanpa basa-basi. "Saya tau Kakak siapa dan bagaimana hubungan Kakak dengan teman saya."

"Bicara kasual saja." Ingin tertawa terbahak-bahak rasanya. Kegugupan yang terpancar terlihat lucu disandingkan dengan aura percaya diri milik lelaki di hadapannya, begitu menurutnya.

Kegugupan mulai berkurang, namun ia masih tidak berani menatap lelaki di depannya. "Tiga hari lalu, aku lihat Kakak dengan Kak Jeonghan, duduk di seberang lobi ski resort sambil pelukan," ucapnya, membeberkan apa yang dilihatnya malam itu saat ia kembali ke cafe untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Untunglah Jeonghan sempat memberi Seokmin kunci cadangan.

Ia ingat. Ingat momen itu juga momen saat berjalan pulang bersama lelaki yang disebut tadi dikarenakan rumah mereka yang sejalan. Mungkin lelaki yang bertubuh lebih kecil itu tak sadar, tapi ia perhatikan secara detail figurnya. Berjalan dengan tempo lambat, wajah menunduk dengan raut sedih, tatapan mata yang tak fokus mengindikasikan banyak pikiran berlarian di otaknya, serta bahu yang menurun.

Semuanya diceritakan oleh si barista yang name tagnya terukir namanya, Lee Chan. Sahabatnya itu yang tiga hari lalu terlihat jauh dari kata wibawa sengaja memasang senyum dan berteriak ceria saat memasuki rumahnya. Dua teman lain yang sedang beradu mulut mengenai bahan BBQ tidak berpikir macam-macam. Mereka hanya bertanya mengapa tak jadi pulang ke Tokyo—Sowon sudah mengabari mereka sebelumnya—yang hanya dijawab dengan kata malas. Koki Boo dan asisten koki Lee mungkin memandang biasa gelagat dan alasan si tuan rumah. Namun, berbeda dengan lelaki termuda yang baru saja masuk melalui pintu utama.

Memang tidak ada yang berbeda dari lelaki itu. Berisik, ceria, banyak berbicara. Seperti biasa. Terlebih lagi, malam itu ada acara BBQ dan Seungkwan dan Chan berusul untuk menginap sebagai perayaan hari jadi cafe. Tapi, itulah yang selalu membuat Chan khawatir, apalagi setelah menjadi saksi hidup punggung rapuh sahabatnya ini.

"Kak Jeonghan tak pernah cerita kalau tak ditanya duluan. Dan malam itu, saat aku terbangun di tengah malam, kudengar dia menangis diam-diam. Dia tak pernah menangis sampai segitunya, Kak. Kakak pasti bertanya-tanya kenapa aku ceritakan ini semua, tapi aku yakin tangisannya itu ada kaitannya dengan masalah kalian. Untuk isu ini, seberapa banyak pun kami tanya, dia tidak akan mau jawab, Kak."

Kalau tadi Chan terus menunduk, sekarang netranya sudah berani bersitatap dengan netra si pria berwajah tegas itu. "Jadi, Kak Seungcheol, aku minta Kakak selesaikan masalah ini dulu, sebelum Kakak pulang ke Kyoto lusa sore."

Akhirnya sampai di depan airbnb yang disewanya. Ia refleks berseru, memanggil nama lelaki yang tertangkap netranya.


tbc.

©munwaves, 2020

on track [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang