Sosok Bernama Mahendra

16 4 2
                                    

"Aku berantakan."

"Aku yang akan beresin kamu sampe nggak berantakan lagi. Susah amat!"

"Nay!"

Aku mengalihkan pandangan dari layar ponsel, lalu menatap matanya yang tengah memandang sendu padaku.

"Apa? Aku nggak peduli. Mau kamu berantakan atau rapi." Kulempar asal ponsel ke sebelah tubuhnya. Kemudian, bergeser maju mendekat ke arahnya.

"Udah berapa ribu kali kamu ngomong itu, aku nggak peduli," ucapku menatap dalam matanya, mencoba menyelami dasarnya yang terdalam. Sekadar menyalurkan beribu ketenangan.

Pemuda beralis tebal di hadapanku hanya diam membisu, sesekali menggeleng pelan dengan raut wajah putus asa.

"Kamu perempuan sempurna. Cantik, berpendidikan, dari keluarga baik-baik aja, dan terpandang. Sedangkan aku, aku cuman cowok yang rusak, dari keluarga yang nggak beres. Kamu tau itu, kan, Anaya!"

Aku bergeming. Bukan karena semua perkataannya, tapi saat melihat mata sendu yang begitu banyak menyimpan luka. Entah luka masa kini, atau pun masa lalu. Begitu banyak keputusasaan di sana.

Mahendra, pemuda yang kukenal sudah hampir sepuluh tahun lamanya. Kami bertemu di saat sama-sama berseragam putih biru.

Seorang anak laki-laki yang sering rusuh dengan teman sekelasnya. Kadang, dia akan mengganggu siswi perempuan dengan tingkah jailnya, dan aku, salah satu yang sering menjadi korbannya.

"Anaya! Mahendra suka kamu!" teriak salah satu temannya saat aku tengah berjalan di koridor yang sepi. Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke asal suara. Di sana, tepatnya dia ambang pintu kelas, ada anak laki-laki berambut sedikit panjang hingga menutupi alis tengah membekap mulut anak lelaki lainnya.

"Gak usah didenger! Sana, gue nggak suka liat muka jelek lu!" Mahendra menimpali dengan raut wajah tanpa ekspresi, di pandanganku terlihat dingin dan begitu menyebalkan.

"Aku juga nggak suka anak cowok berantakan kaya kamu. Suka bulak balik ruang BK dan tukang rusuh!" timpalku, lalu berbalik dan kembali meneruskan langkah untuk pulang.

Selama kurang lebih tiga tahun aku mengenalnya, Mahendra bagiku tak lebih dari seorang anak yang nakal dan menyebalkan. Kami berdua tak pernah akur, bahkan saat tak sengaja berpapasan dengannya di koridor aku yang pertama membuang muka. Kami bagai orang asing dalam satu ruangan yang sama. Ya, tiga tahun lamanya disatukan dalam kelas yang sama.

Namun, satu kejadian membuat pandanganku terhadapnya berubah.

Siang itu, aku yang tengah menunggu jemputan Ibu di depan gerbang, tak sengaja melihat Mahendra. Dia berjalan melewatiku tanpa melirik sedikit pun. Biasanya, anak itu akan menoleh, lalu mendelikkan mata saat menatapku. Namun, kali ini berbeda seolah aku tak terlihat. Sesekali, kakinya menendang kerikil, dengan kepala menunduk. Kedua tangan dia masukkan ke dalam saku celana.

Aku masih memperhatikan ke mana ia melangkah, sampai sebuah mobil sedan berhenti tepat di hadapannya. Pintu depan bagian penumpang terbuka, seorang wanita yang kutahu selama ini ibunya turun dan menghampiri anak itu.

Wanita itu tersenyum, lalu mengusap lembut kepala Mahendra. Tak lama, pintu mobil bagian pengemudi terbuka, sosok pria yang kutaksir seusia Ayah turun dan menghampiri mereka berdua. Ah, itu pasti ayahnya. Aku tak pernah melihat dia sekalipun.

Namun, yang tak kumengerti ekspresi Mahendra jauh dari yang kubayangkan. Dia menatap tajam pada pria yang tengah tersenyum itu. Dengan tangan terkepal, anak itu berlari meninggalkan kedua orang dewasa yang tengah menampilkan raut wajah kecewa.

Ibunya hendak mengejar, tapi diurungkan saat suaminya menyekal pergelangan tangan dan menggeleng. Seolah mengisyratkan bahwa tak perlu mengejarnya.

MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang