Kisahku Bertahun-tahun Lalu

4 3 2
                                    


Aku mencintai masa lalu, masa kini, dan juga mungkin masa yang akan datang dirinya. Mencintai masa kelam yang pernah ia alami, mencintai bagaimana usahnya bangkit. Aku mencintai semua rasa sakit yang pernah diderita oleh sosok bernama Mahendra.

Ini kisahku dan seorang Mahendra jauh sebelum benda itu merusaknya. Tak banyak yang mengetahui, hanya aku, Mahen, dan Tuhan. Sebuah kisah yang tersimpan rapi sampai sekarang.

Yang selalu kurawat, kisah yang membawaku pada titik di mana pencarian jati diri. Menghantarkan Mahendra kembali pada dunia yang terang benderang. Cinta dan persahabatan tumbuh di dalamnya.
---

Kutatap kelopak mata yang tertutup rapat itu. Mengusap lembut punggung tangannya yang tengah menggenggam erat jemari ini. Tanpa sadar bibir melengkung saat menatap lekat wajah tenangnya.

Wajah yang baru saja dihabiskan merasai dan menahan nyeri yang tak tertahan, karena mencoba menghalau candu yang mengerikan. Bekas-bekasnya masih terlihat dari basahnya pipi ulah air mata.

Mahendra tak menyadari, bukan hanya ia saja yang merasakan siksaan itu. Aku, seseorang yang telah lama membersamainya pun merasakan hal serupa. Meski, tahu rasanya tak sama.

Bukan hanya sekarang, jauh bertahun-tahun silam. Sebelum rasa itu hadir terlalu dalam. Entah takdir apa yang Tuhan beri pada kami berdua.

---

Mahendra tak sesederhana yang terlihat. Seperti saat dia menatapku dengan mata elangnya atau mencubit pipi ini. Ia lebih dari itu. Seistimewa saat keluar masuk ruang BK. Lalu, di tangannya membawa sepucuk surat cinta dari sang guru.

Aku akan menunggunya di luar dengan harap-harap cemas. Berjongkok, lalu bangkit. Mundar mandir dengan menggigit ujung kuku, berulang-ulang. Tak peduli tatapan aneh dari siswa yang berlalu lalang.

Sesekali tersenyum saat siswi lain menyapa, atau mendelik ketika siswa laki-laki menjaili dengan berkata, "Ngapain nunggu Mahendra si badung, Nay. Mending jajan siomai sama gue aja di warung Mang Abas. Kuy, ke kantin!" Kutolak mereka dengan tatapan tajam dan muka semenyebalkan mungkin. Lantas, anak laki-laki itu akan berdecak dan berlalu begitu saja, tak jarang dari mereka mengumpat.

Aku tak suka dipaksa atau bila ada seseorang yang mengatakan hal buruk pada Mahendra. Meski kenyataannya ia memang siswa yang selalu bikin onar.

Seperti hari ini, kejadiannya terulang kembali. Aku melirik jam dipergelangan tangan, sudah hampir setengah jam menunggu. Namun, pintu ruang BK tak kunjung terbuka.

Kembali aku berjongkok, menunduk sekadar memainkan tali sepatu, atau bersenandung lirih. Bosan dan kesal tentu saja. Bisa saja aku tak perlu melakukan hal konyol seperti ini. Namun, setiap menyangkut anak itu, alam bawah sadar selalu bereakasi. Bahwa aku perlu melakukannya.

Suara decitan dari engsel pintu terdengar diiringi langkah kaki, aku menengadah. Di ambang pintu menampilkan anak SMA yang urakkan, dengan seragam putihnya terlihat kotor di beberapa bagian dan keluar dari celana begitu saja---Mahendra.

Aku bangkit, lalu melangkah mendekat dengan perasaan cemas, tapi sialnya anak itu malah tersenyum lebar, lantas tertawa.

"Idih, kebiasaan!" Kucubit perutnya, lalu dia terkekeh pelan.

"Santai, Nay. Masalah biasa, gak usah terlalu dibawa perasaan!" Dia mengacak rambutku. Kutepis tangan yang terdapat beberapa gores luka di sana.

"Masalah biasa kamu bilang? Ck! Anak TK aja tau, kalau kamu itu habis adu bogem sama anak SMA sebelah. Bisa nggak si, sehari aja nggak keluar masuk BK!" ucapku sembari meraih lengannya, menelisik, lalu menyentuh luka yang berada di sikut. Aku menengadah menatapnya kembali setelah dirasa lukanya tak terlalu parah.

Mahendra hanya diam menatapku. Bibir yang terdapat luka sobek di sudutnya itu melengkung, lalu kepalanya menggeleng pelan.

"Gemesin," lirihnya dan masih jelas di pendengaranku.

"Masa aku nggak lawan si Bando itu!" lanjutnya.

"Ando, Ndra!" sanggahku sembari mengusap lembut bercak darah dari dari sudut bibirnya menggunakkan ibu jari. Mahendra meringis, diringi decakan.

"Iya." Dia mendelik tajam.

Teringat kembali beberapa jam yang lalu. Aku yang tengah berdiri mengantri memesan bakso di kantin dikejutkan oleh berita yang memang sudah tak aneh diterima telinga. Apalagi kalau bukan tentang ulah nakal Mahendra. Salah seorang teman yang membawakan kabar burung tersebut.

Seperti kejadian yang sudah-sudah, harus kurelakan semangkok baso dan jam istirahatku hanya untuk mengetahui apalagi yang diperbuatnya. Sekarang berdirilah aku bersama anak yang penampilannya pun tak layak disebut pelajar. Ia lebih pantas dianggap gembel.

Aku menghela napas pelan, merasa heran dengan kelakuannya. Tak pernah jera, meski berulang kali mendapat surat cinta dari Bu Hilda---guru BK.

Kami berjalan beriringan di koridor yang cukup ramai. Sesekali Mahendra melirik padaku, lalu kembali menghadap ke depan tanpa ekspresi. Ah, aku paham, pemuda itu hanya ingin memastikan bagaiamna ekspresiku. Sebab, berbagai tatapan dan bisik-bisik mengiringi langkah kami ke kelas. Sudah biasa, meski memang terkadang aku tak tahan dengan tatap mencemooh yang mereka layangkan. Ingin rasanya berteriak dan mengatakan sangat tak pantas seolah-olah mengintimidasi.

Namun, berbeda dengan Mahendra, ia tak peduli dengan sikap dan penilain mereka. Makanya, setiap kejadian seperti ini pemuda jangkung ini berjalan begitu santai, memasukkan lengan pada saku celana, sesakali bersiul. Seolah kejadian yang baru saja dialaminya adalah hal lumrah.

"Ngapain kamu lawan anak itu?" Aku berdiri di hadapannya, membuat dia mendadak berhenti. Suara riuh koridor tak sedikitpun membuatku mengurungkan niat untuk sekadar bertanya.

"Karena kamu!" Dia menyentil dahiku cukup keras. Aku mengaduh sembari memegangnya yang sedikit berdenyut. Memamg kurang akhlak dia!

"Kok, aku?" tanyaku, heran.

Mataku menelisik setiap centi bagian wajahnya. Bulu mata lentik, alis tebal, idung mancung, pipi yang terlihat tergores dan bibir tipis kemerahan itu, bibir yang sudutnya lebam. Tak ada pergerakan dari semua anggota tubuh yang baru saja kusebutkan. Mata elang itu hanya menatap sendu padaku.

Wajahnya mendekat, hingga antara hidungku dan ia hanya berjarak beberapa centi saja, sampai embusan napas hangatnya begitu terasa. "Karena dia udah lancang nembak kamu!"

Aku terpaku, ada yang berdenyut di dalam sini yang menghantam tiba-tiba. Mahendra hanya tersenyum tipis, lalu mencubit pipiku.

Aku masih di posisi yang sama saat anak itu kembali menegakkan tubuh jangkungnya. Mengusap lembut pucuk kepalaku, lalu melewatiku begitu saja. Meninggalkan tubuh ini yang masih kaku dan lemas.

"Mau bersemu merah di sana, Nay!" teriak Mahendra. Refleks aku memegang pipi yang terasa panas. Lalu, melirik ke sekeliling.

Sial, semua menatap ke arahku. Tak terkecuali seseorang yang tengah berada di ujung koridor.

Bersambung ....

----

MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang