Haruskah Aku Menyerah?

6 3 1
                                    

MAHENDRA

Jika bisa, aku sudah jauh pergi, meninggalkannya seorang diri. Membiarkannya jatuh semakin dalam sampai dia mengubur diri. Namun, perasaan yang tumbuh tanpa bisa dicegah, menjadi rantai yang mengikat kuat kaki ini.

Lelah, sudah pasti. Ingin menyerah, sudah ribuan kali terlintas di hati. Aku hanya seorang gadis biasa, tak sekuat yang dikira. Namun, sebuah cinta yang membuatku terus berada dan mendekapnya. Walau bagai ribuan jarum menusuk daksa, bagai bara api membakar dara, tetap saja aku tak mampu pergi meninggalkannya.

Apa aku bodoh, Tuhan? Ataukah Kau yang memberi takdir untuknya sebegitu menyakitkan? Dekap saja dia, agar aku semakin kuat. Genggam saja jemarinya, agar aku mampu terus melangkah.

----

"Sebenernya kamu itu niat sembuh nggak si?!" Aku bertanya sembari menunduk memungut bekas puntung rokok yang berserakan. Kemudian, memasukannya ke dalam kantong plastik hitam. Lalu, melemparnya ke sudut ruangan dekat pintu.

"Niat, Nay," jawab Mahendra kemudian. Pemuda yang tengah terduduk di lantai dengan tubuh menyandar pada dinding. Dengan wajah terlihat pucat dan rambut berantakkan.

Entah sudah berapa lama dia dalam posisi seperti itu. Sebab, saat aku memasuki apartemen miliknya dan membuka pintu kamar, Mahendra sudah ada di posisinya sekarang.

"Kamu nggak niat!" Kulempar kotak rokok ke arahnya, kesal. Mahendra mendongak dengan tatapan tak percaya. Mungkin pemuda itu tak menyangka bahwa aku akan melempar sesuatu ke arahnya.

"Apa maksud kamu?" Mahendra berdiri perlahan dengan sebelah tangan kanannya dijadikan pegangan pada dinding, sebelah tangan lagi memegang kepala.

Aku tersenyum miring menyaksikan keadaannya. Pura-pura tak paham dengan apa saja yang baru kuucapkan.

"Semua ini contohnya." Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar Mahendra, agar dia paham apa yang kumaksud.

Ruangan yang sebenarnya tak pantas disebut kamar. Puntung rokok, kaleng soda, bungkus makanan ringan, dan yang paling memuakkan bekas minuman keras berserakan di mana-mana. Bahkan, ranjang yang seharusnya nyaman untuk tidur, malah tercemar oleh botol kaca berbau menyengat itu.

"Aku nggak tahan," ucapnya lirih. Sebuah lontaran kalimat memecah keheningan yang baru saja tercipta di antara kami. Namun, begitu miris diterima pendengaran.

Dia melangkah mendekat ke arahku yang masih diam mematung. Sudah sejak tadi, mata mengabur karena ulah air yang menganak.

"Stop, jangan mendekat lagi!" perintahku, Mahendra berhenti melangkah. Runtuh sudah pertahananku untuk tidak meneteskan air mata yang sedari tadi tertahan.

Seperti banyak asap yang masuk ke dalam paru-paru, rasanya begitu sesak. Aku meremas rok bagian samping, menahan dada yang berdenyut sakit. Luka yang tak kasat mata tercipta menyaksikan orang yang begitu berharga dalam keadaan seperti ini.

Apalagi yang harus aku lakukan? Kejadian yang sudah biasa kusaksikan. Namun, tetap saja. Rasa sakitnya tak bisa dicegah untuk datang berulang-ulang. Ingin menyerah, tapi sosok di hadapanku ini sudah jauh masuk ke dalam hati.

Jika candu Mahendra adalah semua barang terlarang ini. Begitu pun aku, canduku adalah Mahendra. Katakan saja aku gadis bodoh, mengapa begitu jatuh hati pada sosok kelam seperti dia.

"Kamu tau di sini aku yang paling terluka. Sudah banyak waktu yang aku habiskan untuk menarik kamu dari dunia kelam ini. Aku lakuin semua itu karena aku peduli sama kamu. Hanya aku yang paham betapa terlukanya kamu!"

Aku menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Sejalan dengan tetes demi tetes air meluncur dari pelupuk mata. Mahendra hanya menunduk, jemarinya terlihat gemetar. Kami masih diam mematung mungkin dengan kecamuk di pikiran masing-masing.

"Maaf, Nay." Mahendra mendongak, menatapku dengan mata sendu yang terlihat memerah.

Sebuah tatapan yang sudah sering kulihat. Begitu terluka, sampai rasanya aku ingin menutup mata saja. Ingin berlari kencang, meninggalkannya sendiri. Menangis atau sekalian saja meraung tanpa seorang pun tahu. Namun, sisi egoisku berontak. Tak mungkin meninggalkannya dalam keadaan seperti ini.

Aku masih saja mematung saat dia mulai kembali melangkah mendekat. Tak seperti detik sebelummya mencegahnya, kubiarkan tubuh yang terlihat lemas itu menghampiri.

Hingga sebuah jarak tak lagi ada. Harum tubuhnya yang bercampur dengan bau asapa rokok dan minuman memuakkan itu bahkan menyengat di penciuman. Detak pada jam dinding membaur dengan deru napas masing-masing yang hanya terdengar di kamar temaram ini.

Sebuah usapan lembut terasa di pucuk kepala. Aku memejamkan mata, merasai betapa selalu nyamannya sentuhan dari tangan gemetar itu. Menunduk, dengan dada yang seperti ditindih ribuan beban berat.

"Kamu boleh pergi, Nay. Kalau kamu udah nggak tahan dengan semua ini."

Kelopak mata terbuka sempurna, aku menegadah menatap tak percaya dengan kalimat yang baru saja ringan diucapkannya.

Seperti terlempar pada masa silam. Sebuah lontaran yang sama untuk pertama kali kudengar dari mulutnya.

Bersambung ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang