3. meeting

24 6 7
                                    

"Astaga Vi, bangun dong, please,"

"Vi! Ini udah lama banget."

"Vi! Astaga Vi please, gue mohon banget sama lo,"

Samar-samar aku mendengar suara yang sangat kukenali, disertai dengan guncangan pelan pada pergelangan tanganku, yang walaupun kusebut dengan guncangan pelan, tetap menimbulkan rasa sakit yang lumayan.

Aku menegakkan kepalaku, mengerjap-ngerjapkan kelopak mata berusaha mendapatkan kesadaran sepenuhnya.

Tunggu!

Dimana aku?

Aku buru-buru mengambil posisi duduk. Menyapu pandangan kesekelilingku dengan cepat, lalu mendapati bahwa aku sedang berada diruangan yang bernuansa putih.

"Lo udah lama banget gak sadarnya, kelamaan malah, gue aja sampe stres pengen bunuh diri aja rasanya." Jesi berseru dengan raut wajah lelah.

"Dan lo mau tau Vi sekarang jam berapa?"

"Jam 2 Vi, jam 2, itu artinya lo udah tidur hampir 4 jam. Padahal harusnya, lo yang bangunin gue!" Jesi menunjukkan layar ponselnya kearahku, nyaris menempelkannya tepat di wajahku.

Ya, waktu pada layar ponsel Jesi memang menunjukkan pukul 2 lewat 7 menit disiang hari.

"Kenapa lo baru bangunin gue sekarang?" aku menyuarakan pertanyaan praktis yang terlintas dipikiranku.

Jesi menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Gue juga baru kebangun sejam yang lalu, itu juga dibangunin sama si Tiwi, dia mau ngunci perpus soalnya kan udah jam pulang, nah terus ternyata lo ketiduran, mana nyenyak banget selonjoran di karpet. Jadi dengan insting seorang teman, gue mengajukan diri buat ngunci perpus dan nyuruh Tiwi pulang duluan,"

"Dan ternyata sejam berlalu, lo nggak bangun juga, ya gue terpaksa bangunin." Jesi menyelesaikan ceritanya.

Great! Aku tertidur diperpustakaan selama kurang lebih 4 jam. Apa-apaan itu? Seingatku aku bukan seorang yang candu tidur siang. Apa ini berkenaan dengan kegiatan bergadangku semalam? Mungkin saja.

Lalu apa itu artinya aku hanya bermimpi?

Tentu saja, idiot.

Tapi jujur saja, mimpi itu terasa sangat nyata. Bayangan tubuhku tertabrak truk yang melaju kencang masih terekam dengan segar diingatanku. Tapi syukurlah itu hanya mimpi. Aku tidak pernah membayangkan nafas terakhirku terenggut dengan cara setragis itu.

"Vi, lo mau nginep disini aja apa gimana nih?"

Aku tidak tahan untuk tidak mendelik tajam kearah Jesi.

"Lo iket tali sepatu dulu sana, gue mau benerin rambut gue," ujarku pelan.

"Buruan lo, perut gue udah teriak minta diisi." Jesi melenggang keluar dari ruang perpustakaan.

¤¤¤

"Gue ke parkiran, lo tunggu gue di gerbang." Ucap Jesi.

Ingatanku kembali menayangkan adegan mimpi siang terburukku.

"Nggak. Kita bareng-bareng ke parkiran."

Jesi menatapku aneh, "Tumben banget lo," ia kembali memperhatikanku lekat-lekat. "Ohh gue tau. Lo mau ketemu sama Devin ya?"

"Nggak. Lagian dia pasti lagi nganterin pacarnya bimbelan."

"Emang iya sih," ucap Jesi sebelum menghidupkan mesin motornya. Aku menatap Jesi mengisyaratkan bahwa aku butuh penjelasan.

"Ah iya, tadi Kak Devin nge- dm gue nanyain lo katanya dia nelpon lo tapi hape lo nggak aktif." Aku tidak memberi respon apa-apa, menatap Jesi agar ia melanjutkan ceritanya. "Yaudah gue bilang, lo sama gue lagi diperpus."

"Terus?" aku memandang Jesi dengan tatapan jengah, berusaha membuat dia mengerti bahwa aku ingin dia menyelesaikan ceritanya tanpa jeda.

"Yaudah terus gue kasih tau ke dia kalo lo lagi molor, terus dia bilang dia gabisa nganterin lo karna dia bakal bareng sama pacar kebanggaannya. Terus gue bilang oke, terus gue suruh dia folbek gue dan ceritanya habis, lo buruan naik, gajah diperut gue udah kelaperan."

Saat menuju gerbang sekolah, aku memperhatikan seorang gadis dengan seragam SMP yang kuyakini salah satu partisipan olimpiade, sedang berdiri didekat pos penjaga gerbang yang kosong. Tampaknya sedang menunggu seseorang untuk menjemputnya. Well, tidak ada yang salah.

Tidak ada yang salah.

Kecuali noda di area belakang roknya.

"Vi, lo liat yang gue liat kan?" tanya Jesi sambil memelankan laju motor.

"Kita samperin, buruan!" aku menepuk-nepuk pundak Jesi. Tidak membutuhkan enam detik kami berhenti tepat didepan gadis yang sedang menggenggam erat kedua tali ranselnya yang menjuntai. Menyadari ada yang mengampiri, gadis itu memalingkan arah pandangnya dari gerbang sekolah.

"Dek, lagi nungguin jemputan ya?" tanyaku dengan suara lembut membuat Jesi merilis tatapan aneh kearahku.

"I...iya kak," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

"Oh, gitu. Nama kamu siapa?" aku bertanya kembali, berusaha mengkondisikan raut wajah seramah mungkin karna gadis tersebut terlihat agak gugup.

"Gia."

Aku mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon.

"Kelamaan Vi, keburu gue dijadiin istri kedua sama Obama," ucap Jesi cepat, yang kuhadiahi dengan sebuah pukulan pada kepala bagian belakangnya. Tenang saja dia tidak akan kesakitan. Pukulanku hanya menyakiti helmnya.

"Oke Gia, itu, lo lagi dapet ya?" pertanyaan Jesi membuat Gia spontan mengecek belakang roknya. Setelahnya aku mendengar Gia menggumamkan astaga.

"Kamu udah coba hubungin orang yang jemput kamu?" aku kembali bertanya.

"Aku nggak punya pulsa." jawab Gia pelan. Aku pun berinisiatif mengeluarkan ponselku dari ransel biru dipangkuanku. Namun sedetik setelahnya aku baru sadar bahwa ponselku mati kehabisan daya.

"Jes, hp lo siniin!" Jesi berdecak sebelum mengulurkan ponselnya kearahku dengan tangan kirinya.

"Gia, coba kamu sebutin nomornya, biar kakak yang hubungin." Gia pun menyebutkan angka dan aku langsung mengetiknya. Tepat saat aku akan mendial nomor tersebut, Gia menghentikanku. "Kak, itu abang aku udah dateng kok," Gia menunjuk gerbang sekolah.

Setelah mengucapkan terimakasih, Gia berlari kearah gerbang dimana 'abang'nya berada. Tentu saja Gia memastikan halaman sekolah benar-benar dalam keadaan kosong sebelum berlari.

Aku memperhatikan saat Gia menghampiri seorang laki-laki dengan seragam sekolah yang kukenali. Laki-laki itu tampak membuka helm full facenya sambil turun dari motornya, lalu membuka jaket biru tua-kuning nya dan menyampirkan jaket tersebut dipinggang Gia, kemudian mengikatnya.

Saat dia menepuk-nepuk puncak kepala Gia, semuanya itu tidak terluput dari pandanganku. Aku selalu tertarik tentang bagaimana seorang laki-laki memperlakukan seorang perempuan.

He's such an attractive man!

"Jadi lo tiba-tiba tertarik sama abangnya si Gia nih?" ucap Jesi tepat saat Gia beserta 'abang'nya melesat meninggalkan gerbang sekolah.

"Apaan lo, ngada-ngada aja," aku menoyor kepala belakangnya.

"Oke deh bodo amat. Gue udah laper banget so without further ado," Jesi melajukan kencang motornya membuatku kembali memukul kepalanya, kali ini lebih kuat. Namun Jesi hanya membalasnya dengan tertawa mengesalkan.

¤¤¤

a/n:

cliché isn't it?

~cliché girl

IN MY HEAD Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang