1. boring

47 9 10
                                    

"Vi, Vi! Woi! Lo dengerin gue gak sih?"

Dengan sentakan itu, aku kembali kedunia nyataku, mengangkat kepala yang sedari tadi kutundukkan sedikit dan menatap Jesi yang juga sedang menatapku, dengan raut wajah kesal, jika boleh kutambahkan.

"Nggak," ucapku dengan santai.

"Bego gue lama-lama temenan sama lo, ngeselinnya sampe ngurangin sel otak," Jesi berucap sembari mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri menggunakan tangan kirinya.

"Yeee gitu doang emosi," sahutku sambil tersenyum palsu, agar terlihat asik.

Kulihat Jesi menyematkan poni panjangnya yang sedikit mengganggu pemandangan, dia lalu menarik napas dalam-dalam dan kembali melanjutkan ceritanya, cerita yang sedari tadi tidak ku mengerti bahkan tidak ku dengar sama sekali.

"Oke, jadi kan, gue kaya nemuin suatu makna gitu Vi. Coba deh lo bayangin kalo nggak ada Loki di film Avengers yang pertama," Jesi lalu menatapku dengan serius, "Kalo Loki nggak ad-"

Thank God!

Bel sekolah tanda waktu pulang berbunyi, memotong cerita Jesi yang kali ini bertemakan Esensi keberadaan Loki.

Berteman dengan Jesi, membuatku terbiasa dengan ocehan random hariannya, walaupun kadang aku tidak menggubrisnya, Jesi tidak mempermasalahkan hal tersebut. Menurutnya, dia sudah cukup senang karena aku bersedia mendengarkan cerita-cerita tidak pentingnya. Well, sejauh ini, memang hanya aku yang tahan duduk berjam-jam dengan Jesi.

Atau, hanya Jesi yang tahan duduk berjam-jam denganku?

Aku menggendong tas ransel biru yang hanya berisikan beberapa buku tulis, dan setelah menatap kedepan, lebih tepatnya ke arah meja guru, aku menghembuskan napasku dengan kasar. Setumpuk buku referensi sejarah yang memiliki ketebalan diatas rata-rata, tergeletak rapi karena memang sedari tadi tidak ada seorangpun yang mau menyentuh buku-buku malang tersebut.

Setelah bel pulang berbunyi sekitar lima menit yang lalu, sekarang diruang kelas ini hanya ada aku, Jesi, dan Nathan yang sekarang sudah melenggang keluar kelas dengan mata masih terpaku ke ponsel ditangannya yang berada dalam posisi horizontal.

Dengan niat ingin cepat pulang, aku mengangkat buku-buku tersebut. "Makanya Vi, lo kalo dikasih tau jangan batu, tadi kan Fadil bilang gaperlu jemput buku ke perpus, Bu Sarina nggak ngajar hari ini, lo nggak percaya sih, kudu balikin lagi kan ke perpus. Mending perpus deket, lah ini jauhnya udah kayak bumi ke asgard."

"Gue ke perpus dulu, " pamitku ke Jesi, mengabaikan kalimat panjang yang diucapkannya tadi.

"Eh lo bareng Kak Devin kan?" aku hanya membalasnya dengan anggukan.

"Ya udah gue pulang duluan, jangan lupa nanti malem fotoin jawaban tugas matematika yang kemaren," dengan itu, Jesi berjalan cepat kearah yang berlawanan dari arah tujuanku.

Sampai didepan pintu perpustakaan yang memang selalu ditutup rapat dengan alasan kondisi ruangan ber-ac, aku bersusah payah membuka knop pintu perpustakaan tersebut tanpa ingin buku-buku berat ini terjatuh dari tanganku.

Berhasil, aku bergegas meletakkan buku-buku malang berisikan referensi sejarah ini di rak yang sama dari tempat aku mengambilnya pada saat jam istirahat tadi.

Dari perpustakaan, aku melangkahkan kaki menuju area parkir. Sepi, hanya ada beberapa kendaraan tersisa. Seraya memfokuskan pandanganku kearah spot parkiran didekat pohon beringin tua, kurasakan ponselku bergetar.

1 message received

From : Devin
Lelet bgt lo, gue tinggal!

Aku menghembuskan nafas kasar, memasukkan kembali ponselku kedalam saku. "Devin!" Aku meneriakkan namanya, berharap teriakanku cukup keras untuk didengar dari bawah pohon beringin berjarak sekitar 30 meter dari posisiku sekarang namun sekaligus juga berharap teriakanku tidak cukup keras untuk didengar dari ruangan OSIS yang tadi saat kulewati ternyata masih berisi sekitar belasan orang, mungkin sedang ada rapat.

IN MY HEAD Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang