Hiruk pikuk kehidupan ibu kota tidak menghentikan langkahku untuk terus berjalan. Semua orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, terus mengikuti arus untuk bertahan hidup. Benar kata orang bilang, "ibu kota keras!"
Ini bukan pertamakalinya aku menginjakan kaki di Jakarta, tapi untuk pertama kalinya aku menyusuri kota ini sendirian. Sedikit nekat untuk aku yang tidak pernah bepergian seorang diri dan tidak bisa menyebrang jalanan besar. Ujian Nasional telah dilaksanakan, tidak ada kegiatan lagi untuk siswa kelas 12 jadi aku memutuskan untuk memesan travel dan pergi menuju rumah adik ayahku di sini. Sebenarnya aku ingin rehat dulu sebelum kembali berperang dengan soal-soal ujian masuk pergutuan tinggi nanti. Huftt
Dengan mengandalkan kamera analog, sepanjang berjalan banyak gambar yang aku ambil, polisi yang sedang mengatur lalu lintas; pasukan oren; atau anak-anak jalanan yang menyanyi diiringi gitar kecil usang.
Sekarang pukul 17.00, aku tidak boleh pulang malam atau mbak akan melaporkan ini pada ayah. Aku memilih menyebrang menggunakan JPO yang sepi daripada harus melewati ramainya kendaraan yang lalu lalang. Apalagi sekarang adalah waktunya orang pulang bekerja ataupun sekolah, ramai sekali.
Metromini menjadi pilihanku. Kursi dekat jendela adalah tempat favorit untuk menikmati perjalanan dengan jendela sengaja dibuka agar udara tetap masuk ke dalam metromini yang padat dengan penumpang. Segala bebauan ada berbaur dengan polusi dari kendaraan. Kali ini aku tidak terganggu, aku ingin menikmati petualangan ini, menagkap setiap moment dengan kameraku.
Tiba-tiba metromini berhenti mendadak. Bukan, bukan karena ada penumpang yang turun atau naik. Berhentinya metromini diiringi dengan teriakan-bukan kecelakaan-, "tawuran lagi," decak seorang ibu yang duduk di sampingku, seolah sudah biasa hal ini terjadi diperjalanan ia pulang.
"Gak ada kapok-kapoknya anak-anak itu," aku menoleh kesamping mendengar seorang pria yang berdiri di samping kursi kami. "Hampir setiap hari mereka tawuran," lanjut pria itu.
"Yang kemaren bahkan ada yang mati terbacok samurai," timpal penumpang yang lain. Aku yang mendengarkan percakapan itu hanya bergidik ngeri membayangkannya.
Teriakan bersahutan antar pelajar yang sedang tawuran terdengar, sura sajam yang sengaja mereka gesekan dengan jalan aspal mengiringi sore ini.
Dari jendela terlihat mereka saling mengacungkan sajam, melempari batu, kata-kata kotor keluar dari mulut mereka. Seolah menantang malaikat pencabut nyawa mereka maju kearah lawannya, tidak peduli orang lain yang ketakutan. Berlagak seperti raja jalanan.
"Awas!"
Seorang wanita berteriak ketika sebuah batu terlempar ke arah jendela disampingku.
Braak
Aku tersentak, beruntung seorang bapak menutup jendelanya sebelum batu itu membuat kepalaku bocor. Batu itu hanya menyebabkan kacanya retak.
"Bocah edan!" makian dari para penumpang yang geram melihat kelakuan para pelajar itu. Salah satu dari mereka ada yang terkena sabetan gir yang di ayunkan, jelas pihak lawan tidak terima dan keributan pun tak terelakkan lagi.
"MUNDUR WOY!"
"POLISI! POLISI!"
"MUNDURR!"
Pelajar itu segera melarikan diri saat pasukan polisi bertameng lengkap dengan senjatanya datang mereka berlarian, sebagian mencoba menerobos masuk ke dalam metromini. Namun, penumpang yang lain mendorong mereka agar tidak masuk.
"Bangsat!" maki seorang pelajar yang didorong saat mencoba naik. Terjadi adu mulut antara penumpang dan pelajar tersebut. Aku menyiapkan kameraku untuk memotret.
"BIN!"
Dengan kamera yang siap memotret, aku ikut menoleh kearah suara tersebut. Tidak jauh dari jendela, orang yang berteriak tadi berdiri. Ia memberi isyarat untuk mengikutinya, orang yang dimaksud ternyata adalah anak yang berusaha masuk ke dalam metromini. Sekilas mata kami bertemu. Mereka berlari untuk menghindari kejaran polisi.
Lalu lintas kembali normal setelah sempat macet yang diakibatkan oleh pertempuran antar pelajar tadi. Metromini yang aku tumpangi pun kembali melaju. Sungguh hari yang sangat melelahkan.
***
Aku pulang terlambat gara-gara tawuran tadi. Tapi untunglah Mbak percaya setelah aku menceritakan alasan yang membuat aku pulang terlambat. Setelah sampai rumah aku pergi membersihkan diri sebelum Mba memanggil untuk makan malam.
Mbak Rani tinggal bersama suami-mas Dani-dan satu anaknya yang masih berusia 1 tahun. Tidak banyak percakapan diantara kami, hanya suara celotehan Anna yang sibuk dengan cookies-nya. Kami fokus dengan makanan masing-masing. Sepertinya hari ini hari yang melelahkan bagi semua orang.
"Besok kamu mau keluar lagi?" Tanya mas Dani setelah menyelesaikan suapan terakhirnya.
"Iya"
"Mending bantuin mba jagain Anna ajalah," sela mbak Rani.
"Gak mau. Aku kesini kan buat refreshing bukan buat jadi babysitter. Ya kan Annaaa?" Anna yang diajak ngobrol hanya tertawa lucu.
Tangan mba Rani melayang untuk menarik telingaku, untung aku berhasil menghindar. Anna yang melihat ibunya kesal malah tertawa. Usia aku dan mba Rani memang tidak terlalu jauh membuat aku tidak segan untuk bercanda dengannya.
Mas Dani yang memperhatikan kami hanya menggelengkan kepala, "ya udah kamu hati-hati, daerah situ memang sering terjadi tawuran."
Aku mengacungkan jempol pada mas Dani dan setelah itu aku pamit untuk pergi ke kamar tidurku.
Sepertinya hari ini aku mengambil banyak gambar. Sebelum makan malam, aku sempat ke ruangan khusus untuk mencetak film, ruangan itu milik mas Dani. Kebetulan kami memiliki kesenangan yang sama.
Dengan segera aku merebahkan diriku di atas kasur. Sambil menatap langit-langit pikiranku melayang pada kejadian saat perjalanan pulang tadi, anehnya aku bukan merasa takut tapi malah merasa tertantang. Aku tidak sabar untuk menelusuri kota Jakarta lagi besok.
***
-Ditulis saat rasa bosan terus diam dirumah sudah mencapai rasa muak.
Selamat menikmati hyunggg
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepintas
General Fictionkita ini dua yang berbeda, apakah kita akan terus berjalan beriringan atau hanya sepintas lalu pergi? ⚠️harsh words ***** I'ts my first story that I have ever published. Hope you enjoy it✨