Hari ini aku memilih menemani Mbak Rani ke pasar tradisional sebelum melanjutkan petualangan. Tidak ada salahnya juga ikut ke pasar, disini aku bisa melihat penjual dan pembeli saling berinteraksi, kuli panggul bolak balik mengangkat barang, anak kecil yang menawarkan kantong kresek, semuanya berusaha untuk dapat bertahan di kota besar ini.“Udah belanjanya Mbak?” tanyaku saat melihat Mbak Rani meminta seorang bapak untuk membawakan barang belanjaannya menuju mobil.
“Udah, ayo nanti Anna nangis kalo kelamaan.”
Mbak Rani memang tidak menggunakan jasa pengasuh anak jadi sebelum berangkat ke pasar Anna sengaja dititipkan pada bu Dian—tetangga sebelah rumah yang sudah sering dititipi Anna. Masih jam 9 pagi tapi suhu disini sudah panas sekali. Beruntung hari ini aku memakai kemeja lengan panjang dan celana jeans diatas mata kaki, oh tidak lupa pakai sunscreen—ini penting banget huh.
Mbak Rani masuk ke dalam mobil setelah berterimakasih dan memberikan upah pada bapak tadi karena telah menolongnya membawakan barang yang tidak terlalu banyak itu.
“Kenapa harus minta bapak itu, buat bawa barang yang gak seberapa banyak ini sih.” Heran aku sama Mbak Rani, maksudku itu loh buat apa aku ikut ke pasar kalo gak bantuin.
“Gini loh Jena, kita kan gak tau kalo ada anak istri yang nunggu bapak itu pulang kerja bawa sesuatu. Jadi, gak ada salahnya kita bantuin dengan cara gunain jasa mereka.” Jelas Mbak Rani sambil mengeluarkan mobilnya dari area pasar.
“Hmm, tumben bijak.”
“Aww!” teriakku saat Mbak Rani mendaratkan cubitannya di lenganku tanpa mengalihkan fokusnya saat menjalankan mobil.
Suara keluar dari radio yang sengaja dinyalakan masuk ke telingaku, entah apa yang dibicarakan aku tidak terlalu mendengarkannya.
“Beneran kamu mau turun disini?” Ucap Mbak Rani saat aku meminta turun di sebuah taman.
“Beneran lah, emang kenapa?”
“Gak kenapa sih,” jawab Mbak Rani yang membuat aku memutarkan kedua bola mataku. “Jen, jangan berpikir kalo semua orang itu baik.”
“Dan gak semua orang itu jahat,” balasku sambil melepas self-belt dengan senyum manis yang aku lemparkan pada Mbak Rani.
“Ini Jakarta,” aku mengangkat sebelah alis mendengar Mbak Rani berbicara, “orang yang berniat jahat ada disetiap sudut kota ini,” lanjut Mbak Rani.
“Kalo gitu aku bakalan pura-pura jadi orang jahat, gimana? Mereka gak akan nyerang sesama orang jahat kan?” Aku menaik turunkan kedua alisku pada Mbak Rani.
“Jenaaa,” geram Mbak Rani.
Aku tertawa melihatnya, senang sekali membuat Mbak Rani kesal.
“Mbak gak usah khawatir, aku bisa jaga diriku sendiri”
Kita sering sekali membicarakan ini. Aku bukan lagi anak kecil, sudah tahu mana yang baik dan yang buruk. Memang apa salahnya berpikiran positif pada semua orang, aku percaya setiap manusia pasti mempunyai sisi baiknya sekalipun ia penjahat.
Aku melambaikan tangan pada Mbak Rani yang menjalankan mobilnya menjauhiku. Setelah mobil Mbak Rani sudah tak terlihat, aku kembali melangkah mengikuti kemana kaki ini membawaku pergi. Kita lihat apa yang akan terjadi hari ini.
***
Tadi aku sempat berbicara dengan pengamen kecil. Kami duduk di atas trotoar di bawah pohon yang menghalangi panas matahari, dengan sebotol minuman dingin ditangan kami masing-masing.
“Kamu gak sekolah?” Tanyaku pada Denis, pengamen cilik dengan gitar kecil di pangkuannya.
“Sekolah? Ngapain, mending turun ke jalan. Dapet duit,” jawab Denis dengan senyum tanpa ragu, agak terkejut dengan jawabannya. Usia anak ini mungkin sekitar 12 tahunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepintas
General Fictionkita ini dua yang berbeda, apakah kita akan terus berjalan beriringan atau hanya sepintas lalu pergi? ⚠️harsh words ***** I'ts my first story that I have ever published. Hope you enjoy it✨