Bab 1

924 141 16
                                    

"Anak saya itu, meskipun usianya sudah sangat pantas untuk menikah, kelakuannya masih saja seperti anak kecil." Suara Ayah terdengar dari ruang tamu.

Ayah kok malah ngomong begitu sih? Kan nilai jualku jadi semakin jelek di depan mereka. Sejak tadi aku terus menguping dari balik tembok pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu dengan memasang telinga lebar-lebar.

"Dia juga nggak bisa masak, bawel, masih sedikit manja dan cengeng," tambah Ayah lagi. Oke, terima kasih, Ayah. Kemarin kelihatannya sangat mendukung pertemuan malam ini, tapi entah mengapa sekarang malah kedengarannya ingin agar aku tereliminasi sesegera mungkin.

Eh tunggu. Bukannya ini pertanda sesuatu? Siapa tahu Ayah sengaja menjelek-jelekkanku karena ternyata pria yang ingin melamar malam ini adalah sejenis dengan pira menyebalkan minggu lalu.

Mungkin saat bertatap muka dengan pria itu, Ayah melihat sesuatu yang tak baik hingga akhirnya berubah pikiran. Wajar bila Ayah menjelek-jelekkanku di depan mereka. Menolak secara halus. Benar kan?

"Tidak apa-apa, Pak Aftan. Yang namanya masih muda ya begitu. Nanti kan mereka bisa belajar sama-sama." Kali ini suara bu Enita yang terdengar. Membelaku. Beliau memang baik.

"Iya, Pak, tidak apa-apa. Lagi pula kalau bawel pasti akan membuat rumah menjadi lebih ramai," sahut sebuah suara.

Eh, sebentar. Suara siapa itu? Kok terdengar enak di telinga? Kenapa aku jadi berdebar karena mendengar suaranya ya? Suara pak Adinata jelas bukan seperti itu. Rasa-rasanya tadi suara beliau lebih berat dan khas bapak-bapak. Aku semakin merapatkan badan ke tembok dengan penasaran.

"Tapi anak saya ini memang benar-benar sangat tidak dewasa lho. Terkadang saya sering merasa seolah dia itu terlambat tumbuh dewasanya. Mungkin karena terlalu banyak bergaul dengan anak-anak ya."

"Guru kan memang begitu, Pak. Setiap hari yang dihadapi memang anak-anak." Bela bu Enita lagi. Sepertinya ia ingin sekali aku menjadi menantunya.

"Ya, tapi tetap saja. Kalau guru TK sih masih wajar, lha ini dia kan guru SMA." Ayah masih terus saja membantah.

"Fifa memang suka sama anak-anak sih, Pak. Tapi kalau serius dia bisa juga kok bersikap sesuai umur. Mungkin di mata Bapak saja Fifa itu masih anak-anak, karena Bapak sebagai ayahnya selalu menganggap dia sebagai putri kecil Bapak." Bu Enita mengakhiri kalimatnya dengan kekehan.

Terima kasih, Bu Enita. Aku menghela napas lega mendengar pembelaan darinya.

"Anak saya ini orangnya agak pendiam, Pak. Jadi dia pasti juga akan lebih senang mempunyai istri yang lebih rame." Suara berat khas bapak-bapak menimpali.

Nah itu baru suaranya pak Adinata. Jadi tadi itu suara... pria itu? Ya ampun, suaranya saja sudah bikin berdebar begini. Bagaimana dengan orangnya nanti? Semoga pertemuan ini mendatangkan hal yang baik. Aamiin...

"Ssstt... nggak usah nempel-nempel di tembok begitu." Kak Marwa datang dari arah dapur sambil membawa nampan berisi gelas minuman. "Cakep kok. Cakepppp... Mirip Chris Evans, eh Captain America. Meski ekspresinya serius, tapi tetap ganteng. Nggak bakalan nolak deh," bisiknya sambil mengedipkan mata dan berjalan melewatiku dengan senyum misterius.

Sebentar. Apa itu maksudnya mirip Captain America? Bule? Halah, pasti bohong. Tapi kedipan mata kak Marwa tadi jelas membuat rasa penasaranku semakin bertambah berkali-kali lipat. Susah payah aku menahan diri agar tidak segera menghambur ke ruang tamu dan melihat langsung wajah pria itu.

"Sabar, nanti Ibu panggil kalau sudah saatnya kamu menampakkan diri." Kali ini Ibu yang muncul sambil membawa piring berisi penganan dan tersenyum penuh arti padaku. Membuatku semakin penasaran saja dibuatnya.

Komitmen (JGK New version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang