Potter Fever

425 66 13
                                    


Malfoy Manor
Manchester, England

Saat Mother menyambutnya di ruang keluarga, Draco tidak ragu untuk memeluk wanita itu. Pelukannya begitu erat saat bukannya sakit di dadanya menghilang, malah makin menjadi-jadi. Dadanya sesak. Apa lagi melihat senyum Harry yang seolah mempermainkan perasaannya. Dia bukannya bodoh untuk tahu jika Harry memang hanya bersenang-senang.

Dia menganggap Draco sama seperti cowok yang pernah dikencaninya. Seolah dia piala bergilir. Dan Draco membenci kenyataan itu. Dia juga membenci dirinya sendiri yang bisa-bisanya jatuh cinta pada Harry. Memendam perasaan hampir dua tahun ternyata hanya memupuk rasa itu untuk makin membesar dan tidak menghilangkannya.

Air matanya mengalir dan dia langsung berlari ke kamar. Dia tidak mau Mother tahu jika dia menangis. Father bisa marah dan menganggapnya anak lemah. Dia melepas kemejanya dan masuk ke kamar mandi untuk menyiram diri di bawah pancuran air dingin. Dia bersandar pada dinding dan membiarkan dingin mengguyurnya. Dan dia menangis.

Menangis tanpa suara. Dan menelan jeritannya sendiri.

Dia tidak kuat menahan luka patah hati ini. Dan membayangkan beratnya hari esok untuk berhadapan dengan Daniel. Tapi dia menyayangi Mother dan tidak mau membuatnya cemas. Ini pertama kalinya dia merasakan beban seberat ini. Dia jadi berpikir lebih baik dia tidak pernah mengenal Harry lebih dari yang seharusnya.

Dia sudah tamak karena berani berharap bisa berhubungan lebih jauh dengan pemuda itu. Ini bayaran atas kebahagiaan kemarin. Dia membuka matanya saat mendengar Mother mengetuk pintu kamarnya dan menyuruhnya keluar untuk makan malam.

Huh, bodohnya dia. Buat apa dia bertindak cengeng dan melodrama seperti ini. Dia tidak menyadari jika dia selemah ini. Dia segera menyelesaikan urusan kamar mandinya dan berbenah diri untuk makan malam dengan Mother. Selesai melihat di cermin jika dia sudah lebih baik, dia keluar kamarnya dan turun tangga untuk ke ruang makan. Sayup-sayup dia mendengar Mother sedang berbicara dengan orang yang dia kira Father.

"Aku sedih melihatnya hancur perlahan seperti itu. Tidakkah kau mencemaskannya? Lebih baik jika dia pindah ke luar negeri." Suara Mother terdengar seperti tercekik dan membuat Draco urung menuruni kakinya ke anak tangga lebih jauh. Dia bahkan mundur.

"Ke mana?" Draco kenal suara berat Father.

"Entah ke mana! Mungkin Amerika, atau benua lain! Asia, Jepang bagus." Sahut Mother cepat.

"Dan membuatnya mendapat hal serupa. Atau bisa jadi dia mendapat hal lebih buruk. Aku tidak pernah mengajarinya lari dari kenyataan, Cissy. Dia harus menghadapi masalahnya dan menyelesaikannya. Dia yang memilih jalan hidupnya. Bukankah kita sudah membantunya sebisa kita dengan mengabulkan keinginannya. Jika dia memang ingin lari dan pindah ke luar negeri, aku akan kabulkan."

"Maka lakukan! Pindahkan dia! Tidak ke luar negeri boleh. Ke kota lain saja!"

"Tapi dia tidak memintanya. Apa kau tidak sadar? Dia anak yang kuat. Aku bangga padanya. Bukannya aku tidak peduli akan lingkungan sosialnya. Apakah kau tidak tahu jika dia menjadi pemuda yang baik? Dia tidak menjadi pemuda yang manja atau brengsek. Syukuri dan bahagialah Cissy. Maka Draco juga akan bahagia."

Draco terdiam. Entah kenapa, tubuhnya terasa ringan dan dia tersenyum. Ya, Draco yang memilih jalan ini. Dia kemudian kembali menuruni tangga dan langkahnya tidak lagi berat. Dia lihat Father yang memandang Mother dengan lembut dan begitu melihatnya, tatapannya kembali serius. Huh!

Dia acuhkan saja dan duduk di meja makan di ikuti keduanya. Maid segera beranjak pergi dan sudah tertata banyak makanan di meja. Draco bertekad dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan tidak akan membuat Mother khawatir lagi. Dia hanya patah hati. Tidak lebih, iya 'kan?

The Beauty of Silver EyesWhere stories live. Discover now