Bab 1. Segelas Kopi

35 7 31
                                    

Sinar mentari perlahan masuk lewat celah-celah jendela, menerobos menyinari dalam rumah.

Dengan segelas kopi, kududuk'kan tubuhku dikursi panjang depan rumah yang kusewa setengah tahun lalu. Hilir mudik para penghuni gang yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang berbelanja dengan menggosip ria, dan ada juga yang fokus pada pekerjaan masing-masing tanpa peduli keadaan sekitar.

Inilah Jakarta kawan. Semua orang sibuk dengan urusannya sendiri. Ini bukan lagi kampung tempat kau bermain layang di tanah lapang yang ditumbuhi ilalang.

Disini kumenatap langit pagi yang tak begitu cerah, kulayangkan ingatan tentang awal perjuanganku sampai di kota Metropolitan ini. Susah bukan main! Aku ini memang sarjana ekonomi tapi aku hidup diantara puluhan ribu sarjana yang menganggur tanpa bekerja. Tapi aku, untung ada sebuah Swalayan yang mau menampung seorang sepertiku.

Kuminum kopi itu secara perlahan, membiarkannya mengalir begitu saja dikrongkongan menciptakan rasa pahit manis seperti kehidupan.

Apakah kau tau, kopi adalah penggambaran kehidupan tentang rasa pahit di awal lalu berganti manis. Hidup ini bukan hanya tentang sebuah rasa cinta, sakit dan rindu. Hidup perlu sebuah perjuangan agar kau bisa mengerti artinya sebuah kehidupan sesungguhnya.

"Wan, gue berangkat dulu ya," pamit Akmal yang keluar dari rumah sebelah.

"Oke. Hati-hati di jalan bro," jawabku padanya yang dijawab dengan acungan jempol.

Kuamati Akmal yang terus melangkah menuju depan gang dan akan naik ojek untuk sampai ditempat kerjanya.

Langkahnya tegas, bak singa dipadang ilalang Afrika yang siap berburu untuk kelangsungan kehidupan.

Jerit malang kehidupan orang-orang jalanan yang hidup hanya berbelas kasihan selalu menjadi irama syahdu para pemimpin yang hanya duduk dengan ongkang-ongkang kaki dan tega memakan uang rakyat. Kadang mereka dihina para juragan yang angkuh akan kesombongan dan ketamakan yang melakat pada dirinya.

Kutandaskan kopi yang tinggal separuh, menyisakan ampas yang sepa jika diminum. Sukmaku melayang mengingat masalalu saatku bermain dihulu sungai, mencari ikan dan mencari kerang yang akan kuberikan pada ibu untuk dimasak.

Tapi kini aku bukan lagi bocah yang duduk digoncengan dengan tali yang melilit kaki agar tak tergerus jeruji.

Sebuah kenyataan yang mengharuskanku seteguh batu karang yang tak pernah goyah walau dihempas oleh gulungan ombak. Kenyataan juga mengharuskanku sekuat karang yang tetap bertahan walau buih dilautan selalu mengikisnya perlahan.

Selaksa kapal yang terombang-ambing di lautan, ia tetap gagah seperti batu karang yang tegar walau terherus ombak kehidupan. Seindah burung camar yang melayang, ia tetap berani walau ditelan badai kenyataan.

Apakah kau tau kawan.
Penyu tak akan mati walau digulung buih di samudra tapi ia akan mati ditangan para durjana yang merajalela. Dan itulah peeumpaan negri ini, rakyat bisa bertahan dan keadaan secukupnya tapi apakah bisa mereka hidup di bawah para tikus berdasi.

***

Sinar surya mulai menampakkan senjanya. Membentang indah di bawah cakrawala bumi. Sangat indah dan menawan, apalagi ditemani semilir angin yang seakan membelai lembut kulit ini.

Berjalan di atas trotoar jalan sembari menggenggam tas slempangan agar lebih kuat tersampir dipundak, aku menikmati angin sore di bawah pohon asem yang sudah hidup puluhan tahun yang akarnya kuat menancap sampai ke perut bumi.

Perlahan aku masuk ke swalayan tempatku bekerja dan menyalami temanku Aldi yang kebetulan juga sif malam bersamaku. Bibirnya menyunggingkan senyum hangat, ah kawan aku selalu mengingat mendiang kakakku jika kau tersenyum seperti itu.

Pelanggan hari ini cukup ramai, lagi pula nanti malam adalah malam minggu. Kesempatan para jomblo menghabiskan waktunya ngemil sembari menonton drakor dan artis mulus kesayangan mereka.

Aku melihat dia berjalan diantata jajaran rak makanan ringan. Aku selalu mengamati gerak-gerik tubuh wanita itu, entah mengapa jiwa ini seakan tertarik untuk selalu memperhatikannya. Dia adalah Jesika, pelanggap tetap swalayan ini yang entah mengapa selalu mencuri perhatianku.

Sejak enam bulan yang lalu, aku selalu memperhatikan gadis tinggi semampai itu membeli beraneka ragam coklat. Entahlah mungkin dia penggila coklat.

Gadis dengan netranya yang coklat bening seperti madu dan surai hitam sebahu yang sedikit bergelombang itu selalu bisa mencipatakan rasa yang tak aku pahami.

Berdebar-debar seiring langkahnya yang semakin dekat membawa sekeranjang makanan yang mungkin akan habis dalam seminggu lamanya.

Kulihat dia tersenyum, tapi entah pada siapa. Seulas bibir ini terangkat sembari menyambut tangan yang mengeluarkan satu persatu makanan dari keranjang.

Diri ini tidak bisa fokus pada satu titik, tubuh ini terasa gemetaran setiap kali dia datang membawa sebuah senyuman yang meninggalkan secuil rasa didada yang tak mampu kujelaskan lewat aksara.

Kupandang dia yang terus melangkah meninggalkan gemuruh didada. Kutekan perlahan agar rasa ini mereda. Aku tak tau ada apa dengan dada yang berdebar kala melihat senyum tulus diwajahnya.

Apakah ini cinta?

***







Selamat datang pada cerita baru. Semuanya adalah tentang penggambaran rasa kawan.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar.

Nia El-Malik

Menggenggam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang