Langit begitu gelap sepanjang jalan menuju lokasi perburuan. Misi dijalankan oleh satu tim dengan tiga anggota. Aku pergi bersama Dazai dan seorang anggota lain bernama Tachihara. Kami menyergap mobil berisi pasutri. Mereka mengenakan pakaian mahal, jas beludru dengan perhiasan emas putih.
Selagi aku terdiam di tempat, Tachihara sudah menyerang dua orang, menghadang di depan mobil. Dazai membawa tongkat kayu dan merusak kaca belakang, menciptakan teror agar target tidak berani berkutik.
"Sepertinya kita mendapat mangsa yang bagus," desis Tachihara kemudian mengambil sebilah pisau dari ikat pinggangnya. Tanpa ragu ia menusuk dada sang pria. Dengan kematian suaminya, wanita itu tidak dapat melakukan apapun. Hanya ada rasa takut yang melingkupi pikiran dan sirna karena pisau tadi juga membunuhnya.
"Ambil semuanya, anak baru," seru Tachihara padaku.
Berbekal karung besar, aku menjarah seluruh harta di dalam mobil itu. Kalung, anting, cincin, bahkan uang tunai yang terdapat di dalam dashboard mobil.
Terakhir Dazai menghampiri mereka dengan pisau, mengecek apakah keduanya benar-benar sudah meregang nyawa. Ia menusuk bekas yang dibuat Tachihara lagi. Lebih dalam dan lebar dari sebelumnya. Aku hanya memalingkan wajah, tidak sanggup untuk melihat penyiksaan keji yang juga lelaki itu lakukan pada Yuan.
"Tachihara," panggil Dazai seraya menunjuk tubuh para korban, "tolong bawa mereka ke basecamp. Aku akan membereskan bukti bersama Chuuya."
Pemuda berambut brick itu mengiyakan. Ia memindahkan dua orang dewasa tadi ke jok tengah dan mengambil alih kemudi. Ketika mobil curian itu sudah melaju jauh, Dazai beralih padaku.
"Apa kau takut padaku, Chuuya?"
Tentu saja. Siapa yang tidak akan takut dengan Dazai setelah melihat bagaimana ia menghancurkan tubuh seseorang dengan pisau?
"Aku tidak akan melakukannya padamu."
Aku tersadar dari kecamuk pikiran dan mendongak. Manik coklat lelaki itu menatapku tegas. Kalimat tadi seolah diucapkan untuk mengusir hal-hal yang bahkan belum pernah kukatakan dengan mulut ini.
"Aku tidak akan membunuhmu."
Sulit untuk mempercayai kata-kata barusan. Sejak awal hubungan beracun ini dimulai karena aku takut akan kematian. Bila ia tidak memiliki niat untuk membunuhku, maka aku bisa lari. Aku bisa meninggalkan Dazai tanpa rasa takut.
Namun itu tidak terjadi. Setiap kali mengingat kematian Yuan serta Atsushi, aku merasa tidak ada jalan keluar. Aku akan selalu dihantui rasa bersalah.
Hanya Dazai yang bisa membuatku merasa tenang. Hanya lelaki itu yang bisa bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Hanya dia yang mau mendekap tubuh seorang pembunuh sepertiku.
"Aku akan selalu menjagamu."
Kalimat-kalimat yang ia ucapkan adalah racun. Tapi yang aku tahu, ada rasa damai yang melingkupi hatiku. Ada kehangatan ketika tangan penuh darah itu memelukku.
"Aku menyukaimu."
Ini yang terakhir, puncak dari seluruh ritual penenangan diri. Kalimat penuh dengan afeksi itu selalu mampu membuatku meneteskan air mata-- entah air mata bahagia atau air mata frustasi karena aku tidak dapat menolak rasa bahagia itu.
"Apa kondommu masih ada?"
Dazai tersenyum hangat lalu menjawab pertanyaanku, "Masih satu."
"Bisakah kau menggunakannya malam ini?"
"Tentu," ucapnya kemudian mencuri sebuah kecupan dari bibirku, " tapi temani aku untuk membelinya lagi besok."
.
.
.
To be continued
Jadi sebenarnya fic ini tuh satu scene satu chapter, jadi sekali ngetik bisa 600, 1000, 400, 500 gitu, gaes
Harap maklum okeh?
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] menyintas | soukoku
Fanfiction"Jika kau membiarkanku menyentuhmu, setidaknya aku bisa menjamin kau tidak akan mati--," Air mataku kembali mengalir, membasahi kedua pipi. Kalimat-kalimat barusan terucap tanpa beban. Seolah fakta bahwa ia baru saja membunuh seorang gadis dan mempe...