Kabur berarti menjadi pengkhianat kelompok. Namun kabur juga berarti bebas dari bayang-bayang petugas berseragam yang siap menyergap basecamp kapanpun.
Aku masih tidak tahu mengapa Dazai mengajakku kabur. Ia mengkhianati orang-orang yang sudah dikenalnya sebelum diriku. Ia juga membiarkan dirinya menjadi buronan anggota lain.
Dalam benakku terus terlintas berbagai pertanyaan. Bagaimana bila Dazai mati seperti Atsushi? Bagaimana denganku? Apakah aku juga akan mati?
"Apa masih ada sisa uang di dompet?"
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Dazai. Ia memutar kemudi, melaju semakin jauh dari basecamp. Kami pergi ke kota lain. Lelaki brunette itu berulang kali mengecek status bensin, memastikan bahwa kami dapat pergi dengan jarak yang jauh.
Sepanjang jalan aku selalu menatap kaca spion dengan was-was. Dazai mungkin sadar dan menggenggam tanganku lagi.
"Kita akan pergi jauh, menyewa sebuah kamar, dan tinggal di sana." Dazai berucap, mengatakan sebuah rencana jangka panjang.
"Aku akan mencari sebuah pekerjaan bersih. Kita hanya perlu bersembunyi sampai masa daluwarsa lewat," jelasnya kemudian mengelus punggung tanganku.
"Chuuya," panggil Dazai, "apa kau keberatan?"
Aku bukannya tidak merasa keberatan. Namun aku tidak memiliki pilihan lain. Menghabiskan 20 tahun bersama seseorang yang pernah berkata akan selalu menjagaku bukanlah pilihan yang begitu buruk.
"Aku baik," jawabku.
Dazai tidak mungkin menoleh saat kedua matanya harus fokus pada jalan raya. Namun aku bisa melakukannya, menoleh dan menemukan sebuah senyum hangat di bibirnya.
"Tidakkah kau ingin tidur? Kita sudah berjaga semalaman kemarin."
Kota tempat basecamp berada sudah jauh di belakang. Aku merasa sedikit lebih aman. Dazai memberhentikan mobil di pom bensin dan membeli beberapa liter untuk memenuhi tangki. Aku menunggunya di dalam mobil, mengintip posturnya saat sedang berbicara dengan seorang pegawai.
Ketika tangki sudah ditutup, Dazai kembali ke sebelahku. Ia menjalankan mobil, berpindah ke area parkir. Aku menebak kami akan bermalam di sini, di dalam mobil.
Dazai menyelipkan rambut ke belakang telingaku, merapikannya agar tidak menutupi wajahku. Walaupun rasa kantuk menyergap kelopak mata, aku masih belum tertidur. Manik kami bertemu dalam diam. Aku masih melihat senyum hangat itu di wajah Dazai, membuatku lupa bahwa kami berada di dalam situasi yang berbahaya.
"Selamat malam," ucap bibir itu sebelum akhirnya mendarat di dahiku. Kantuk barusan seolah sirna karena sebuah afeksi singkat.
Dazai melepaskan jaketnya untuk menyelimuti tubuhku, sementara ia beranjak keluar mobil. Diam-diam aku memperhatikan ke mana Dazai pergi. Ia masuk ke dalam sebuah mini market.
Aku menunggunya keluar dari sana dan akhirnya menemukan lelaki brunette itu tengah menggenggam sebuah heat pack di tangannya. Mataku terbuka lebar dan kembali beradu dengan manik coklatnya.
Dazai tersenyum karena menangkapku basah. Dengan lari kecil ia menghampiri ke depan jendela.
"Kenapa kau belum tidur?"
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Apa kau menungguku agar kita bisa tidur bersama?"
"Tidak. Aku tidak pernah berpikir seperti itu," elakku.
Malam ini, entah mengapa atmosfer antara diriku dan Dazai terasa begitu menyenangkan. Aku tidak terlalu memikirkan pengejaran polisi atau ancaman mati dari anggota kelompok.
Yang ada dalam benakku sekarang hanyalah lelaki brunette ini seorang.
"Tapi aku ingin tidur bersamamu, Chuuya."
.
.
.
to be continued
Jadi soft gini njir :")
btw, bagi yang belum tahu, daluwarsa itu masa berlakunya sebuah kasus. Semisal seseorang melakukan kejahatan dan belum berhasil ditangkap sampai masa daluwarsa berakhir, ya sudah, dia tyda bisa diadili.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] menyintas | soukoku
Fanfic"Jika kau membiarkanku menyentuhmu, setidaknya aku bisa menjamin kau tidak akan mati--," Air mataku kembali mengalir, membasahi kedua pipi. Kalimat-kalimat barusan terucap tanpa beban. Seolah fakta bahwa ia baru saja membunuh seorang gadis dan mempe...