part 1

1 0 0
                                    

🍁🍁🍁

Namaku Arif, usiaku 32 tahun. Seorang suami dari wanita yang cantik dan shalihah, serta ayah dari dua orang anak yang sehat dan lucu-lucu. Kami tinggal di rumah sederhana di pinggiran kota. Rumah ini merupakan pemberian dari orang tua istriku yang saat ini telah meninggal dunia. Selama ini aku bersyukur tidak pernah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilku, karena selain aku memang telah bekerja sebagai karyawan tetap di pabrik pengolahan triplek di kotaku, istriku juga seorang yang pandai mengatur keuangan dan memiliki keahlian di bidang pembuatan kue. Sering dia mendapatkan pesanan kue dari teman-teman atau pelanggannya untuk berbagai keperluan, dan hasil penjualannya dia simpan untuk keperluan pribadinya.

Singkat kata kehidupan rumah tanggaku berjalan baik, tenang, dan membahagiakan, hingga musibah itu terjadi ....

🍁🍁🍁

"Mas ... Mas Arif ... itu hapemu bunyi Mas, cepat angkat siapa tau ada apa-apa!"

Segera mataku terbuka saat Lani istriku, menggoncangkan tubuhku di tengah malam itu, mengerjap sesaat aku memandangnya kaget.

"Ada apa Dek?" tanyaku setengah mengantuk.

"Itu lo Mas, masa gak kedengaran? hapemu bunyi itu dari tadi, angkat cepat! Ini sudah hampir jam 12 malam, siapa tau ada yang darurat."

Bidadariku itu menjawab tak sabar. Cepat aku beranjak dan mengambil hape yang kutaruh di atas meja rias.

Kulihat nama Mas Bimo kakakku, tertera disana. Gugup, kuangkat segera hapeku. Dalam hatiku bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan saudara kandungku satu-satunya itu menelepon di tengah malam buta begini.

"Halo, assalamualaikum Mas?"

"Halo ... Rif, cepat kesini sekarang! Rumah Ibu kebakaran. Cepat datang, Ibu panik!" Mas Bimo menjawab cepat. Di belakangnya kudengar hiruk-pikuk warga.

Kaget, aku segera mematikan telepon dan sembarangan menyambar baju yang tergantung di dinding kamar. Masih gemetar karena belum sepenuhnya pulih dari rasa terkejut, aku berujar pada istriku yang masih bingung.

"Dek, rumah Ibu kebakaran, Mas harus kesana sekarang."

"Astaghfirullah Mas, inggih cepat Mas, hati-hati ... jangan ngebut!"

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam Mas."

Aku pamit pada istriku, dan berlari menuju garasi samping rumah, menghidupkan motorku dan langsung melaju.

🍁🍁🍁

Sesampainya di depan gang menuju rumah Ibu, suasana sudah kacau. Api sudah tinggi. Maklum karena rumah ibuku berada di pemukiman padat penduduk di tengah kota. Petugas pemadam dan sebagian warga saling membantu berjibaku melawan api yang terus meninggi. Tapi banyak usaha itu sia-sia, area kebakaran sudah terlalu luas, ditambah lagi gang-gang yang sempit menyulitkan mobil pemadam untuk masuk kedalam.

Kuedarkan pandangan, sambil kutelepon nomor Mas Bimo, tapi tidak diangkat. Dalam kebingungan akhirnya kulihat Ibu terduduk lemas dan kuyu di depan sebuah ruko di mulut gang. Cepat kuhampiri beliau.

"Assalamualaikum Bu, ini Arif Bu."

Aku langsung memeluk ibuku yang sedang menangis tanpa suara.

"Habis Rif ... habis semua, sudah tidak ada yang bisa diambil, bahkan foto-foto mendiang Bapakmu juga tidak ada yang bisa ibu selamatkan. Tak ada yang tersisa. Ini gimana Nak? Ibu mau tinggal dimana, Ibu harus hidup bagaimana nanti?"

Ibu menjawab sambil terus terisak.

"Jangan pikirkan itu Bu, Ibu sabar ... istighfar, ingat Allah, harta cuma titipannya. Ibu masih punya Arif, Bu. Nanti Ibu tinggal sama Arif ya?" tanyaku lembut sambil berusaha menenangkannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumahku Bukan Lagi SurgakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang