02. Hidupku Masih Baik-baik Saja

18 3 0
                                    

Waktu itu, aku baru saja sampai di sekolah lima belas menit sebelum kegiatan belajar di mulai. Hampir kesiangan, padahal aku sudah bangun sejak pukul tiga pagi untuk membuat pesanan bolu kukus ibu pemilik kontrakan.

Aku mengeluarkan semua buku pelajaran hari itu, apakah ada tugas tertinggal atau tidak. Aku bernapas lega ketika semua tugas telah kukerjakan.

Meski terlilit, tapi kehidupanku masih lebih baik dibandingkan orang lain. Aku tidak memiliki tanggungan, aku hanya harus menghidupi diriku sendiri. Waktu itu, yang kupikirkan hanya urusan makan dan uang buku.

Karena setidaknya, mie instan di Indonesia cukup murah jika sedang dalam keadaan terhimpit.

"Caramel." Suara seseorang terdengar memanggil.

Aku menengok ke arah pintu, menemukan Kiandra tengah menguap di gendongan sang papa. Bayi besar itu menutup mata, menenggelamkan wajah di leher pemilik sekolah, mencari posisi ternyaman.

Aku berkedip. Pada waktu itu, meski sudah mengenal Kiandra lebih dari sepuluh tahun, tapi nyatanya aku kerap kali masih dibuat tak percaya dengan tingkah laku dan pola pikir gadis berdarah Timur Tengah-Sunda itu.

Pria yang tengah berdiri sambil meniupi wajah Kiandra itu... Kenzo Herrera loh, pemilik sekolah. Berwibawa dan memiliki aura intimidasi kuat dengan netra kelabu yang mampu membuat musuhnya ketakutan seketika, menjadikan pria itu disegani banyak orang. Namun, Om Kenzo akan menjadi pribadi yang berbeda jika sudah menyangkut urusan Kiandra. Dia sangat menyayangi puterinya.

Pria empat dua itu menjadi incaran banyak perempuan meskipun sudah memiliki dua orang anak. Kalau tidak takut dibuli Kiandra, nyaris semua siswi dan staf wanita di SMA Cendrawasih pasti akan menggilainya. Namun pada akhirnya mereka hanya mampu mengagumi dalam diam saja.

Aku berdiri ketika om Kenzo berjalan ke tempatku. Ia mendudukan Kiandra di tempatnya saat gadis itu justru semakin mempererat pegangan.

"Papa." Kiandra mengerjap, ia kembali menguap. Sembarangan membanting kepalanya sendiri ke atas meja jika saja sang papa tidak sigap menahan agar tak cedera.

"Kamu lihat 'kan, Caramel?"

Aku mengangkat tatapan keki dari wajah Kiandra, berganti memandangi om Kenzo. "Iya, om?"

"Dia lagi nggak mood. Malas jalan, malas makan. Maunya tidur padahal nggak ngantuk. Kiandra bilang, dia lagi pasang mode nyaris rusak," Semua orang di kelas terpana mendengar penuturan pria di depanku, bahkan Orion yang hendak memasuki kelasku pun menganga di depan pintu. Tangannya terangkat menutupi hidung yang meneteskan darah. Sementara aku menahan tawa. "Saya nggak ngerti. Katanya dia cuma bisa normal lagi kalau sudah ketemu sama Noah. Padahal saya tahu kalau Kiandra nggak pernah suka penyanyi selain Liliput."

"Charlie Puth, om."

"Diam kamu, Rino!"

"RION, OM, RIOOON!!!"

Semua orang menahan tawa melihat Orion terdiam di tempatnya dengan tatapan keki.

"Rion, om, Orion. Bukan Rino."

"Sama aja," om Kenzo kembali menghadapku setelah mengusir Orion untuk kembali ke kelasnya sendiri. "Jadi, bisa kamu bantu saya, Caramel? Kiandra seolah kehilangan gairah hidup tiba-tiba."

Aku mengangguk. Menerima tanggung jawab konyol sampai om Kenzo percaya dan pergi guna melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan lega.

Semua orang juga tahu kalau Noah yang dimaksud Kiandra itu bukan grup band kenamaan Indonesia, tapi teman satu angkatan kami dari jurusan IPA. Om Kenzo saja yang tidak peka bahwa Kiandra sudah puber dan menyukai seorang laki-laki karena pria itu masih menganggap anak bungsunya sebagai bayi usia tiga bulan.

Things We Never Got OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang