Empat

581 71 2
                                    

"Apa yang anda lakukan selama puluhan tahun ini?"

Erwin menatapku penasaran. Kali ini rautnya lebih santai dari beberapa menit yang lalu, meski mendung masih bergelanyut diwajahnya. Ia menatapiku lekat seolah aku  menghilang jika ia mengedipkan mata.

Aku bergumam pelan seraya memasang gestur berpikir. Mencoba mengingat setiap detail peristiwa yang kujalani selama hidup. Kalau dipikir lagi memoriku dimasa lalu banyak yang menghilang. Dan aku yang menyadari beberapa tahun setelah aku diselamatkan mulai menulis jurnal harian hingga sekarang. Jurnal itu kini tersimpan ditempat tinggalku terakhir kali. Hmm, mungkin sebaiknya ku ambil lagi besok, siapa tahu ada informasi yang dapat kuambil dari sana.

"Ummm, kebanyakan aku bersembunyi. Kau tau kan punya wajah yang tidak menua itu merepotkan. Dan aku juga tidak punya banyak uang untuk pindah kesana-kemari"

Erwin mengangguk-angguk seraya bergumam paham. Ia meraih cangkir miliknya dimeja dan menyeruputnya sedikit. Jemarinya mengetuk ngetuk meja, mempertimbangkan sesuatu.

"Lalu bagaimana dengan biaya hidup?"

"Ah, aku bekerja dengan menerima beberapa misi"

"Misi? Seperti pembunuh?"

Aku terkekeh menatap Erwin yang memasang raut terkejut. Alis tebalnya yang bertaut entah mengapa nampak lucu dimataku.

"Bukan.. Bukan membunuh", aku mengibaskan tangan. "Yah, walau kadang jika keadaan tidak memungkinkan aku terpaksa harus membunuh sih" lanjutku bergumam.

Erwin memasang raut waspada. Aku tahu, akan sulit baginya untuk percaya padaku yang sudah menghilang lama. Walau bisa dikata aku punya relasi yang baik dengan keluarganya, namun Erwin baru pertama kali melihatku beberapa waktu yang lalu. Saat ia pertama kali menangkapku di hutan pinggir kota dan membawaku kemari.

Pertemuanku dengan Erwin sudah ku prediksi sebelumnya. Berbekal dari sikapnya yang ambisius terhadap tujuan yang diturunkan keluarganya membuatku yakin ia akan mencariku kemana-mana. Aku cukup kuat, dan Erwin sendiri butuh prajurit yang kuat untuk menyongsong tujuannya.

"Maafkan aku soal orang tuamu"

Aku menunduk tatkala Erwin mendongak mengobservasi wajahku. "Seandainya waktu itu aku berada disisi mereka, mereka tidak akan pergi secepat itu"

Erwin menggeleng pelan, rautnya berubah sendu. Nampaknya aku sudah membuka luka lama di hatinya.
"Itu bukan salah siapa-siapa" Erwin berujar, seraya mengalihkan pandang. "Waktu itu sulit, semua orang mendadak buta mata dan hati"

Benar, orang-orang waktu itu tengah menggila. Hari itu, ketika aku tengah dalam persembunyian akibat orang-orang tua yang mengenali wajahku mulai habis akibat usia, aku dikejutkan oleh berita kematian kedua orang tua Erwin. Suami istri itu dihabisi oleh polisi militer dengan tuduhan pemberian ajaran sesat. Padahal mereka hanya menyerukan bahwa diluar dinding, masih ada dunia lain.

Aku menahan tangis mengingat hari itu, harusnya sejak awal aku mengajak mereka bersembunyi. Memaksa mereka untuk mengikutiku agar aku tidak ditinggal sendiri. Namun apa daya mereka yang menolak tawaranku, memilih tetap dikota berbaur dengan orang-orang dungu yang tidak pernah tahu kata selain 'keluar dinding sama dengan mati'. Harusnya sejak pertama kali kujauhkan mereka dari bayang para petinggi yang seratus persen mudah menghianati.

Aku menghela napas panjang.

"Aku tahu akan sulit buatmu percaya padaku, mengingat lagi bagaimana reputasiku yang hanya kau dengar lewat lidah orang-orang diluar sana. Tapi percayalah Erwin, aku kemari untuk berdiri disampingmu, sampai tujuanmu --kebebasan, atau apalah itu tercapai"

"Bagaimana jika anda menghianati saya"

Aku tersenyum, meletakkan lenganku diatas dada, sebagai bentuk hormat.

"Kau boleh membunuhku jika itu terjadi"

***

Aku menguap lebar, memancing decihan dari pria yang kini tengah sibuk dengan kemoceng disudut kamarku. Siapa sangka Erwin akan menahanku hingga dini hari, membuatku baru dapat terlelap saat hari hampir fajar.

Niatnya aku akan mengurung diri dikamar seharian ini, bergelung dengan selimut dan kasur, berwisata ke alam mimpi. Ya, walau pada akhirnya niat itu hanya menjadi angan saja akibat interupsi pria pendek yang tengah bersamaku ini pagi tadi. Ia mendobrak pintu kamarku dengan peralatan bersih-bersih ditangannya.

"Menjijikan!"

Aku hanya bergumam, memilih memfokuskan diri mengelap jendela sebelum berakhir kembali menguap lebar. Kali ini uapanku terpaksa berhenti ditengah akibat sumpalan kain dimulut yang di tenggarai oleh si penyandang gelar pria terkuat.

Kurang ajar.

"Berhenti menguap, bau mulutmu menjijikkan!"

Aku mengulas senyum jengkel. Menatap Levi yang kini memasang raut wajah datar namun nampak puas. "Anda punya masalah apa ya dengan saya?"

Levi bersidekap, dengan tangannya yang memegang kemoceng buatannya. "Masalahku? banyak. Kau disini saja sudah bermasalah"

Aku menghela napas malas, merasa argumen kami tidak akan berakhir jika aku tidak mengalah. Aku memilih diam saja, berniat cepat-cepat menyelesaikan mengelap jendela. Lalu kabur dari Levi.

Levi masih mengomel disampingku, sedang aku memilih menulikan telinga. Ku yakin omelannya tidak jauh dari umpatan menyuruh menjaga kebersihan atau gerutuan pada Erwin mengenai alasan mengapa ia harus yang menanggung jawabi keberadaanku.

"Heh, Kau mendengarkan ku tidak?"

Aku bergumam pelan, seraya mengucek mata yang terasa gatal akibat lelah. Serangan kantuk datang lagi nampaknya, membuatku susah payah menahan agar kelopakku tetap terbuka.

"Jangan dikucek bodoh!" teriak Levi sembari menarik kerah bajuku membawaku ke kamar mandi. Ia mengambil baskom, mengisinya dengan air lalu menuntun kepalaku kearah baskom itu. "Buka matamu, rendam dengan air"

Aku diam saja, memilih mengikuti instruksi pria itu. Beberapa detik kemudian gatalnya mereda. Aku mengedipkan mata, sebelum mengambil handuk yang tergantung dikamar mandi untu mengusap wajahku.

"Terimakasih" gumamku pelan, yang dijawab jitakan dari Levi.

Setelahnya Levi berbalik, membawa peralatan kebersihan itu keluar kamar.

Aku memilih membersihkan diri. Memilih jalan-jalan keluar sebagai opsi untuk menawarkan kantuk yang terus menderaku. Setelah berganti baju dengan pakaian yang casual aku mulai melangkah keluar kamar, berjalan pelan dikoridor seraya bersenandung kecil. Berniat mampir keruangan milik Hanji.

"Yo, chibi-chan."

Aku menoleh kearah suara, bukan, bukan karena aku senang dipanggil begitu. Hanya karena refleks manusia. Dari belakang aku mendapati Hanji yang tengah memeluk kertas tebal dengan seorang pria berambut kuning berdiri disampingnya. Aku mengulas senyum canggung, sedang Hanji berlari kearahku dengan wajah berseri.

"Aku merindukanmu~"

"Ketua Squad, tolong jangan berlarian dilorong"

Hanji berhenti ketika langkahnya mencapai tepat disampingku, tingkahnya yang energic membuatku merinding luar biasa, nampaknya pria disebelah Hanji itu menyadari.
Hanji memelukku erat, mengusakkan kepalanya kerambutku berulang kali. Kegiatannya itu dihadiahi tatapan aneh oleh pria berambut kuning itu.

"Ah" gumam Hanji seraya menjauhkan kepalanya untuk menatapku. "Kenalkan dia asistenku.  Moblit.  Kau boleh memanggilnya apa saja" tunjuk Hanji menggunakan dagu

Hmmm apa saja ya?

Moblit menatapku sopan, sebelum meletakkan lengan didada tanda penghormatan. "Nama saja Moblit, Asisten dari ketua Squad.  Salam kenal"

Tbc

Aku ngantuk ges..  Maap kalo banyak typo.
Maaf juga kalo menghilang lama

Believe Me Levi! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang